Oleh: D. Sepriyossa, Peneliti GREAT Institute
LANGKAH Forum Purnawirawan Prajurit TNI pada 17 April lalu seharusnya menjadi peringatan penting, bukan hanya bagi pemerintahan Prabowo Subianto, tetapi juga bagi segenap bangsa ini. Tuntutan mereka—delapan butir penting yang disampaikan dalam suasana silaturahmi nasional—memotret kegelisahan kolektif atas arah negara yang dianggap melenceng dari cita-cita reformasi, keadilan, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Sebagian pihak mungkin terjebak pada satu isu yang paling ramai disorot: usulan pencopotan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Tapi menganggap tuntutan para purnawirawan hanya soal Gibran adalah kekeliruan besar. Mereka berbicara jauh lebih substansial: mengembalikan supremasi konstitusi, memberantas korupsi, mengakhiri praktik pembangunan yang menindas rakyat, mengembalikan fungsi Polri, hingga memperingatkan bahaya ketergantungan pada tenaga kerja asing.
Merupakan penghormatan besar bagi akal sehat nasional bahwa Presiden Prabowo menyikapi aspirasi ini dengan bijak. Mengutip penjelasan Wiranto usai bertemu Prabowo, presiden kelima dari kalangan militer itu disebutkan menerima masukan para purnawirawan dan menjanjikan tindak lanjut secara bertahap. Sikap ini patut diapresiasi.
Seperti yang pernah dikatakan Václav Havel dalam esainya “The Power of the Powerless”, “The power of the powerless lies in living within the truth.” Kekuatan rakyat dan para pejuang sejati, termasuk para purnawirawan ini, terletak pada keberanian mereka berbicara dalam kebenaran, bahkan di tengah kekuasaan yang mencoba mengaburkannya.
Salah satu poin paling strategis dari tuntutan itu adalah dorongan untuk reshuffle kabinet. Ini bukan soal kosmetik politik semata. Publik sudah lama menuntut perombakan. Terlalu banyak nama dalam kabinet saat ini yang justru menjadi beban, bukan kekuatan. Menteri-menteri yang diidentifikasi dekat dengan kepentingan politik mantan Presiden Joko Widodo menjadi perhatian utama.
Seperti diajarkan Machiavelli dalam “The Prince”, mutu seorang penguasa dapat dinilai dari orang-orang yang dipilihnya mengelilingi dirinya. Dalam kata-kata Machiavelli, “The first opinion which one forms of a prince, and of his understanding, is by observing the men he has around him.” Karena itu, desakan reshuffle bukan sekadar soal politik, melainkan soal menyelamatkan mutu dan arah pemerintahan.
Dari banyak nama yang ramai diperbincangkan publik, setidaknya tiga menteri dinilai paling layak untuk segera diganti. Mereka adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, serta Menteri BUMN Erick Thohir.
Bahlil dan Budi Arie dikritik keras karena dianggap terlalu mewakili kepentingan politik lama, sementara Erick Thohir dipandang sudah kehilangan daya dorong yang bersih dan fokus dalam mengelola sektor BUMN, bahkan kerap terseret dalam pusaran kepentingan pragmatisme.
Peluang reshuffle besar pun terbuka lebar. Jika Prabowo ingin memperkokoh pemerintahannya, ia harus berani membersihkan kabinet dari menteri-menteri yang loyalitasnya ganda. Kesetiaan setengah hati hanya akan menjerumuskan perjalanan lima tahun ke depan ke dalam jebakan kekuasaan tanpa substansi.
Lebih jauh, kepedulian para purnawirawan ini juga menyinggung fenomena yang kian menjadi keresahan publik: lahirnya matahari kembar dalam jagat politik Indonesia. Sebuah istilah klasik untuk menggambarkan kekuasaan ganda yang membingungkan, merusak harmoni, dan mengaburkan garis komando nasional.
Jean-Jacques Rousseau dalam “The Social Contract” mengingatkan, “As soon as public service ceases to be the chief business of the citizens, and they prefer to serve with their purses rather than their persons, the state is not far from its fall.” Ketika orang-orang lebih sibuk melayani kepentingan pribadi atau kelompok daripada melayani negara, kejatuhan sebuah republik tinggal menunggu waktu.
Situasi ini tak hanya menciptakan kebingungan politik, tapi juga mencederai prinsip dasar demokrasi: bahwa kekuasaan harus beralih secara utuh, tanpa residu tersembunyi. “Rakyat merasa tak nyaman,” kata banyak analis, “karena seolah negeri ini dipimpin oleh dua matahari yang berlomba mengarahkan cahayanya ke arah berbeda.”
Dalam konteks ini, keprihatinan purnawirawan bukanlah sebuah nostalgia kosong akan masa lalu, melainkan pengingat serius akan bahaya jika kekuasaan tak segera dikonsolidasikan dengan sehat di bawah satu komando: komando Presiden Prabowo Subianto.
Kembali pada isu Gibran, para purnawirawan memang mengusulkan pencopotan Wakil Presiden itu kepada MPR RI. Tapi perlu dicatat, berdasarkan kajian mendalam dari pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, proses pemakzulan Gibran sangatlah rumit. Bukan hanya harus ada pelanggaran hukum berat yang dibuktikan secara inkracht di pengadilan, tetapi juga mesti melalui tahapan politik yang amat berliku di DPR dan MPR.
Gibran, bagaimanapun, memang menuai kontroversi sejak awal karier politiknya. Dari proses pencalonannya sebagai Wali Kota Solo yang penuh tanda tanya soal etika politik dinasti, hingga keberhasilannya menjadi Wakil Presiden setelah perubahan syarat usia melalui Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, semua itu mengundang kritik tajam dari publik. Apalagi, Putusan MK tersebut—yang berujung pada pemakzulan pamannya, Anwar Usman, dari jabatan Ketua MK—dianggap lebih sebagai pelanggaran etik berat ketimbang pelanggaran hukum formal.
Dengan sekian fakta itu, wajar jika sebagian publik menganggap perjalanan politik Gibran penuh noda, meskipun secara hukum ia tetap sah. Maka, tuntutan untuk mencopot Gibran lebih banyak berangkat dari kegelisahan moral dan etik, bukan sekadar soal hitam-putih hukum.
Namun demikian, penting untuk tetap menjaga kewarasan berpikir. Para purnawirawan memahami bahwa perjuangan mereka bukan hanya soal Gibran. Mereka bicara soal arah negara, soal masa depan Indonesia. Seperti dikatakan Aleksandr Solzhenitsyn dalam esainya “Live Not By Lies“, “The simple step of a courageous individual is not to take part in the lie.”
Langkah para purnawirawan hari ini adalah upaya menolak ikut dalam kebohongan nasional yang dibungkus kata-kata manis kekuasaan.
Pada akhirnya, seruan para purnawirawan itu adalah cermin, bahwa bangsa ini masih punya hati nurani. Masih ada yang mau bersuara jujur, ketika banyak yang memilih bungkam. Bahwa reshuffle kabinet harus segera dilakukan bukan semata demi Prabowo, tapi demi keberlangsungan negara ini. Bahwa mengakhiri fenomena matahari kembar adalah prasyarat mutlak agar Indonesia kembali punya satu arah, satu suara, satu harapan.
Dalam kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib, “Sebuah pemerintahan bisa bertahan dalam kekufuran, tetapi tidak akan bertahan dalam kezaliman.” Pesan para purnawirawan hari ini adalah seruan untuk menyelamatkan keadilan sebelum semuanya terlambat.
Sejarah mengajarkan, ketika para pejuang bangsanya bersatu dalam suara keprihatinan, maka itu pertanda bahwa perubahan besar tengah mengetuk pintu. Pertanyaannya: apakah kita akan membukakannya, atau kembali membiarkan masa depan negeri ini dirampok oleh bayang-bayang masa lalu? [ ]