Berhenti Golput & The Lesser Evil

Image 3

SAYA bukan Presiden, bukan ketua Mahkamah Konstitusi, bukan seleb, bukan pemilik tanah ribuan hektare, bukan profesor dengan gelar mentereng dan panjang, bukan pula pengurus partai politik. Tapi, saya sama dengan seluruh profesi yang saya sebutkan tadi, yaitu sama-sama warga negara Indonesia yang punya hak untuk dipilih dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum yang luber dan jurdil. Dan kedua, sama seperti saudara-saudara kita itu, saya sama-sama mencintai Indonesia sampai menembus sumsum tulang.

Dalam pemungutan suara, 14 Februari 2024 nanti, satu suara saya sama dengan satu suara masing-masing profesi tadi. One man, one vote, one value. Begitu pula suara pedagang warung Tegal (warteg) setara dengan suara pemilik bisnis waralaba yang mencetak omzet ratusan juta sehari. Tak ada yang beda, setara, sederajat. Prinsip ini menjelaskan betapa keramat, krusial, dan relevannya suara setiap orang (calon pemilih). Itulah mengapa setiap kandidat atau kontestan bersaing memperebutkan suara calon pemilih karena setiap suara yang diperebutkan bernilai satu.

Di Pemilu 2024, saya memilih berhenti Golput (golongan putih). Bukan karena Romo Franz Magnis Suseno, seorang cendekiawan-filsuf yang saya hormati, dan mencibir kaum Golput begitu lantang dan menusuk sebelum perhelatan Pemilu 2019 silam.

Dalam dua Pilpres terdahulu (2014 dan 2019), saya memilih untuk tidak menggunakan hak memilih dengan alasan yang panjang. Namun, satu saja pokoknya: Saya sangsi dapat menitipkan harapan dan kepercayaan kepada kandidat yang bertarung.

Saya bukan warga negara yang memeluk prinsip “the lesser evil” dalam dua Pilpres lalu. Juga pada Pilpres 2024 ini. “The lesser evil” adalah panduan masa genting dan darurat dalam memilih sosok atau figur calon pemimpin, di mana “dia” yang dianggap atau dinilai sebagai sosok dengan potensi kejahatan terkecil atau paling rendah mudharatnya jika bekuasa perlu (dan dapat) diberi kepercayaan untuk memimpin.

Golput adalah gerakan protes yang digalang antara lain oleh Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution tahun 1971 silam. Waktu itu Soeharto menggelar pemilu pertama di masanya berkuasa selepas huru-hara 1965. Kakak dari Soe Hok Gie itu mengajak masyarakat untuk mencoblos di luar gambar partai atau di bidang putih supaya surat suaranya tidak sah. Protes dengan mencoblos bidang putih di luar gambar partai itu lalu kondang sebagai Golput—golongan putih.

Saat itu Arief Budiman dan kawan-kawan mengumandangkan “Tidak Memilih Hak Saudara”. Itu pernyataan yang setara dengan pernyataan “kalau memilih itu adalah hak, maka tidak memilih pun merupakan hak warga negara”.

Gerakan protes yang diawali oleh Arief Budiman ternyata (maaf) bukan kentut atau buang angin semata. Dalam dirinya Golput itu menyasar tujuan esensial, yakni desakan agar terjadi perubahan atas sistem politik yang berlaku. Dan harus diakui Golput ikut pula menentukan siapa presiden dan wakil presiden, anggota DPR/DPRD, hingga anggota DPD yang terpilh.

Pada 2019 saja, jumlah warga negara yang tidak menggunakan hak pilih (tidak memilih) dengan alasan yang beragam menembus 35,29 juta orang. Itu setara dengan 18,31 persen total pemilih nasional. Besar sekali. Saat itu total suara sah sebesar 139,97 juta (partai politik). Artinya angka Golput hampir 25 persen dari suara yang sah. Suara segitu setara dengan enam partai lolos DPR (parliamentary threshold sebesar 4 persen). Dan (berandai-andai) jika suara setebal diraup juga oleh Prabowo Subianto di tahun 2019, bekas Pangkostrad TNI itu bakal menang Pilpres dan menjadi presiden 2019-2024.

**

SAYA terpaksa dan wajib berhenti Golput pada tahun ini karena menimbang dua prinsip. Pertama, ambek paramaarta yang dipegang teguh oleh Soekarno dan diingatkan sekali lagi oleh Guntur Soekarnoputra dalam kampanyenya baru-baru ini. Kalimat dari bahasa Jawa ini oleh kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sifat mendahulukan yang perlu didahulukan; sifat mengutamakan yang lebih penting untuk didahulukan.

Kedua, jika sudah terang-benderang terjadi kerusakan pada sendi-sendi demokrasi dan kehidupan bangsa, maka rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan harus bersuara keras agar tatanan sistem politik demokrasi itu kembali di jalur yang benar. Suara paling keras itu harus diejawantahkan dengan melangkahkan kaki ke bilik suara saat pemungutan suara, 14 Februari nanti. Itulah "moment of the truth" yang bakal menentukan perjalanan bangsa kita dalam lima tahun mendatang serta mengarungi sejarahnya sebagai "nation state".

Daftar kerusakan berderet panjang. Dalam lima tahun terakhir, selepas Pemilu 2019, saya menyaksikan oposisi telah terkebiri. Kekuatan oposisi di gedung DPR telah menyusut drastis akibat akomodasi politik yang dipraktikkan Presiden Joko Widodo. Partai Gerindra yang selama 2014-2019 berada di barisan kekuatan check and balance mendadak ikut berkuasa setelah Pemilu 2019.

Barisan koalisi parpol pendukung Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin begitu tambun, dan hanya menyisakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sebagai barisan oposisi. Oposisi yang kurus kerontang itu tidak sehat bagi demokrasi.

Revisi UU KPK, lahirnya Undang-Undang sapu jagad (omnibus law) Cipta Kerja, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, hingga instannya pembentukan UU Ibu Kota Negara (IKN) telah mempertontonkan satu hal: Pemerintahan Jokowi kelewat kuat dan peran kontrol (pengawasan) oleh DPR sangat lemah. Saya misalnya menjadi korban UU Ciptaker setelah formula pesangon untuk karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berbeda 180 derajat dengan formula yang tertera pada UU Ketenagakerjaan tahun 2003.

Hal lain yang tak dapat ditutup-tutupi: pelembagaan oposisi di DPR tidak mungkin berjalan tanpa dibantu political will (kemauan politik) dari presiden terpilih untuk membiarkan partai politik yang berseberangan dengannya saat pemilu tetap berada di luar kekuasaan eksekutif (pemerintahan). Ini telah gagal dijalankan sejak dua periode SBY, dan gagal total di masa Jokowi.

Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN) di Pemilu 2019 adalah parpol yang mengajukan Prabowo sebagai capres. Tapi, selepas pesta elektoral, dua partai ini bisa berada di kabinet dari pemerintahan yang dipimpin oleh kandidat yang tidak mereka dukung.

Saya kira ini kegagalan desain “presidential threshold”, alias ambang batas pencalonan presiden. Syarat ini sekadar membatasi dan menghalangi tampilnya kandidat presiden dan kandidat wapres yang beragam dari seluruh spektrum politik di negeri kita.

Ketentuan ini tidak melembagakan parpol untuk berada dalam satu barisan selama lima tahun antara satu pemilu ke pemilu yang lain. Selepas 2014 silam, sempat ada tendensi adanya institusionalisasi oposisi di DPR, namun usaha itu gagal setelah Jusuf Kalla (wakil presiden 2014-2019) terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar. Karena telah membelenggu demokrasi Indonesia, sebaiknya presiden terpilih nanti menghapus “presidential threshold” dengan mereview lagi bersama DPR hasil Pemilu 2024, atau bahkan menerbitkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang).

Yang mutakhir, 5 Desember 2023 lalu, DPR telah mengesahkan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun tak mampu mengamputasi pasal-pasal karet yang selama ini kerap memakan korban masyarakat sipil karena menjadi target dan korban kriminalisasi.

Selain skandal etik di Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan kepada putra sulung presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pendamping Prabowo, praktik bernuansa “nepotisme” tampil lagi begitu telanjang. Sebelum kontroversi Gibran mencuat, putra bungsu presiden, Kaesang Pangarep lebih dulu didapuk menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Publik lalu ramai-ramai berteriak soal politik dinasti, sesuatu yang makin diterima sebagai hal umrah. Logika apa pun yang diungkapkan untuk menangkis, satu yang kentara: Sangat mustahil Kaesang menjadi orang nomor satu di PSI jika yang bersangkutan bukan putra presiden. Dan tidak mungkin Gibran didaulat menjadi cawapres jika wali kota Solo itu bukan putra presiden. Apakah tak ada yang salah dengan itu semua?

Jadi, menuju dan saat pemungutan suara nanti, saya akan kembali kepada prinsip yang dianut oleh Bung Karno, yakni ambek paramaarta: mengutamakan yang lebih penting untuk didahulukan. Dan itu adalah dengan menggunakan hak memilih saya. Kepada siapa? Sudah pasti dan wajib hukumnya untuk menitipkan harapan kepada kandidat yang sejak dari pikiran, ide, gagasan dan rencana-rencana kerja serta program-programnya ingin memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam lima tahun terakhir.

Seperti Pemilu 2009, di mana Pilpres waktu itu diikuti tiga pasangan calon, saya berjanji: Siapa pun kandidat yang terpilih, saya akan mengawasinya sejak yang bersangkutan dilantik. Saya tidak meminta apa-apa, tapi akan menagih janji-janji kandidat yang terpilih secara ajeg. Sebab, saya ingin Presiden dan Wakil Presiden yang menakhodai negeri kita itu jujur, dapat dipercaya, serta menepati janji-janji mereka.

Berita Terkait

Berita Lainnya