Bukan Cuma Pengkritik, Anak-anaknya Pun Diteror

Image 3
Joko Widodo dan dr. Tifa

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

ADA yang panik. Ada yang gentar. Ada yang kehilangan akal sehat. Maka anak-anak pun jadi sasaran.

Itulah yang terjadi pada dokter Tifa. Lewat akun X-nya, dia menyebut anak-anaknya diteror. Kos mereka didatangi. Diancam akan disakiti. Data pribadi mereka, KTM dan KTP, disebar via sosial media. Ancaman datang lewat WhatsApp. Berulang kali.

Ini bukan sekadar gangguan. Ini intimidasi. Ini kriminal. Dan ini dilakukan oleh kekuatan-kekuatan liar yang masih setia pada bekas rezim.

Lalu siapa sebenarnya yang ketakutan? Buat menjawab, coba perhatikan benang merahnya. Rismon Sianipar, akademisi yang membongkar kejanggalan ijazah Jokowi, mobilnya dirusak berulang. Roy Suryo, eks Menpora, dikirimi “makhluk astral”, teror mistis. Ini bukan adegan film horor. Dokter Tifa sendiri mengaku sudah tak terhitung menerima ancaman.

Ini realita hari ini. Teror dilancarkan bukan karena mereka menyebar fitnah, tapi karena mereka bertanya. Karena mereka membuka data. Karena mereka bicara.

Kenapa semua ini terjadi? Karena ada yang merasa terancam. Karena ada yang sedang dibongkar kedoknya. Karena ada yang tak siap kehilangan narasi besar yang selama ini dibangun di atas pondasi rapuh. Roy, Tifa, dan Rismon berada di satu garis. Mereka gigih mempertanyakan ijazah Jokowi.

Keistiqomahan mereka membuat ada yang panik. Tapi tak cukup berani menjawab dengan argumen. Maka mereka kirim ancaman. Lempar teror. Seret anak-anak ke dalam konflik yang bukan urusan mereka.

Dulu, di era Orba, pembungkaman terjadi lewat kekuatan militer dan intelijen. Kini, sisa-sisa kekuasaan lama mewarisi cara-cara kotor itu. Teror tetap hidup. Bedanya, kini lebih kotor dan pengecut. Dibungkus buzzer, akun anonim, dan kekuatan gelap yang tak kentara. Dan kita tahu, siapa yang dibungkam biasanya adalah mereka yang menyuarakan kebenaran.

Dokter Tifa, Rismon, Roy, dan banyak lainnya tak sedang mencaci. Mereka sedang menuntut kejelasan. Mereka menempuh jalur hukum. Mereka membuka ruang debat. Tapi karena pertanyaan mereka menyentuh jantung legitimasi kekuasaan lama, maka dibalas dengan kebrutalan.

Berlibur, Pembusukan Moral

Lalu kita lihat, sosok yang menjadi pusat gugatan justru pergi berlibur. Dengan alasan mengantar cucu dan berobat. Di tengah badai opini publik. Di tengah ketegangan sosial yang sedang memuncak. Ia melenggang seolah semua baik-baik saja. Seolah negeri ini hanya sekadar urusan sambilan.

Ironis? Tidak. Ini memalukan. Dan lebih dari itu, ini berbahaya. Ketika suara akal sehat dibalas dengan gertakan premanisme digital. Ketika argumentasi dibalas dengan gangguan klenik. Ketika yang bertanya dijadikan seolah-olah musuh negara. Maka negeri ini sedang mengalami pembusukan moral.

Tapi ingat, sejarah selalu berpihak pada yang benar. Rezim bisa kuat. Kekuasaan bisa absolut. Tapi bila fondasinya kebohongan, maka ia pasti tumbang. Entah hari ini. Entah besok. Tapi pasti.

Dan saat itu tiba, mereka yang hari ini berdiri di barisan kebenaran akan dikenang. Sedangkan para algojo dan tukang teror hanya akan jadi catatan kelam dalam sejarah bangsa.

Jadi jangan takut, wahai pejuang kebenaran. Kalau suara kalian membuat mereka ketakutan, itu artinya kalian sedang di jalur yang benar.