Anies, Prabowo dan Tanah Untuk Rakyat

Image 3
Anies Baswedan bersama masyarakat dalam kunjungan ke Solok, Sumatera Barat, Rabu (3/1).

PASKA debat pilpres ke-3, Prabowo menyerang Anies di hadapan pendukungnya di Riau kemarin. Prabowo mengatakan dua hal, pertama, ketololan Anies soal tanah, karena Anies tidak mengerti bahwa tanah Prabowo itu bukan hak milik melainkan hak guna usaha. Kedua, data Anies salah, tanah yang dimiliki Prabowo lebih luas dari yang disebut Anies. Anies menyebut 340.000 Hektar, Prabowo mengatakan sesungguhnya dia memiliki 500.000 Hektar.

Persoalan tanah Prabowo ini muncul dalam debat capres ketiga karena pertanyaan soal Geo-spatial. Anies menarik soal ini pada isu etik seorang pemimpin yang memiliki tanah yang kontras dengan rakyatnya. Anies memang membandingkan dengan prajurit. Namun, kalau dibandingkan dengan petani yang rerata hanya memiliki 0,17 HA (lihat Bayu Krisnamurti dalam "Mantan Wamentan: Pendapatan Petani Indonesia Rata-rata Rp 1 Juta, Masih di Bawah UMP", Kompas, 23/11/23), tanah Prabowo sama banyaknya dengan tanah hampir 3 juta jiwa petani.

Urusan tanah Prabowo ini sesungguhnya disinggung pertama sekali oleh Presiden Jokowi pada debat pilpres 2019. Jokowi yang rajin membagi-bagikan sertifikat tanah, mempersoalkan kepemilikan tanah Prabowo saat itu. Pembagian tanah, yang dicita-citakan Jokowi dalam salah satu poin utama Nawacita, memang terkendala karena sesungguhnya nyaris semua tanah-tanah di Indonesia ini, sekitar 70 juta Hektar non hutan, sudah di miliki oleh berbagai oligarki, baik elit-elit nasional maupun internasional.

Meski Prabowo mengklaim itu punya perusahaan dan berupa Hak Guna Usaha, namun ukuran ketimpangan kepemilikan lahan sejatinya melihat soal kepemilikannya, bukan sekedar status hak. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), telah terjadi ketimpangan dengan 1% korporasi memiliki 68% tanah di Indonesia (cnn Indonesia online, 13/9/21). Dalam siaran persnya, KPA secara terus menerus menyoroti ketimpangan kepemilikan yang semakin dalam. Bahkan, semakin hari semakin meningkat konflik dan kekerasan dalam kasus sengketa lahan. Rakyat tergusur semakin banyak.

Sementara itu,  Shohibuddin, 2/3/19, peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam, "Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria " (psa.ipb.ac.id, 2/3/2019), kondisi ketimpangan ini telah mengkhianati Bung Karno dan pendiri bangsa. Menurutnya, UU Pokok Agraria hasil revolusi besar konsep Bangsa Indonesia melawan Belanda mengamanatkan pertama, semua tanah untuk kemakmuran petani, kedua, kepemilikan tanah lebih ditujukan pada kolektivisas petani, bukan korporasi besar.

Kegagalan Nawacita

Isu pembagian tanah untuk rakyat sebenarnya sudah dicanangkan Joyo Winoto, kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), era SBY jilid satu. Joyo, yang memetakan adanya potensi 9 juta lahan non hutan, akan memulai pembagian dari Blitar. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), secara lembaga atau individual, berada dibalik upaya ini. Upaya ini mereka sebut sebagai Landreform.

Namun, upaya ini gagal. Sumber saya di lingkungan istana era itu menyebutkan adanya ketakutan pemerintah masuk dalam tema Landreform tersebut, karena di masa lalu bagi-bagi tanah untuk rakyat miskin dianggap Komunis.

Pada era Jokowi, rencana itu kembali dimunculkan. Nawacita Jokowi memasukkan poin Landreform. Namun, faktanya nyaris tidak ada Landreform, yang ada lebih pada kebijakan sertifikasi lahan dan pinjam pakai lahan hutan.

Sebagaimana saya sebutkan di atas, upaya Landreform sesungguhnya mengalami kegagalan sejak ide itu dimaklumatkan Bung Karno sebagai amanat revolusi. Dengan dibuatnya UU Pokok Agraria, 1960, Bung Karno berusaha melakukan redistribusi tanah agar seluruh rakyat, khususnya petani, makmur. Sayangnya, upaya ini ditentang oleh kelas atas yang memiliki tanah. Sehingga, sejak UU itu ada, rencana negara melakukan redistribusi tanah secara adil, tidak bisa tercapai.

Belakang ini rencana itu akan semakin sulit, karena orang-orang yang berkuasa kebanyakan adalah pemilik lahan besar. Meskipun mereka sering mewakili organisasi tani dan sejenisnya, namun, mengharapkan mereka memikirkan pembagian tanah secara adil sangatlah sulit

Penutup

Anies telah berkali-kali mengatakan bahwa tidak ada gunanya Indonesia Merdeka jika kita tidak bisa memberikan tanah untuk rakyat. Tanah adalah kapital penting untuk membuat rakyat sejahtera.

Prabowo Subianto sendiri, ketika diserang Jokowi tentang kepemilikan tanah yang sangat luas, pada debat 2019, membalas jawaban serupa seperti pada kasus Anies. "Saya mengelola ini lebih baik dari pada dikasih asing", katanya. Padahal soal ketimpangan kepemilikan tanah merupakan jantung persoalan keadilan bangsa kita sejak merdeka. Bagaimana Prabowo memikirkan tanah untuk rakyat jika dia sendiri memiliki "konflik of interest" soal ini.

Akhirnya terserah rakyat miskin di Indonesia ini, apakah soal ketimpangan kepemilikan tanah ini harus diselesaikan segera, atau berlanjut.

Disini kita harus melihat bahwa Anies tidak memiliki kepentingan pribadi dan "konflik of interest" untuk menyelesaikan ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia.

Penulis adalah Direktur Eksekutif  Sabang Merauke Circle.

Berita Terkait

Berita Lainnya