Implikasi Hukum Pidana Putusan MKRI atas Perkara No. 90

Image 3

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi RI atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, di mana bunyi Pasal 167 ayat (1) huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum diubah sehingga berbunyi “Syarat untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.”

Di dalam Pasal 167 ayat (1) huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa syarat capares dan cawapres berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun, dan syarat umum yang penting dipahami benar adalah ketentuan yang menyatakan bahwa, Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2), serta penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; proporsional; profesional; akuntabel; efektif; dan efisien (Pasal 3).

Keenam prinsip penyelenggaraan pemilu berdasarkan UU Pemilu tersebut merupakan dasar tata kelola penyelenggaraan pemilu yang dispakati pemerintah dan DPR RI sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat baik secara sosial, politik, hukum maupun budaya yang seharusnya dihormati seluruh elemen pimpinan nasional termasuk penyelenggara negara baik di bidang eksekutif, legislative apalagi penyelenggara negara dalam bidang yudikatif.

Bahkan di dalam UU 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit ditentukan syarat tambahan bahwa, Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam undang-undang (Pasal 19). Khususnya untuk dapat diangkat sebagai Hakim Konstitusi seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; b. adil; dan c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraa (Pasal 33). Di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menjaga kemandirian Peradilan (Pasal 19 ayat 1) di mana  segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UU Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Ayat 2).

Sebaliknya, setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 3).

Ketentuan yang penting diketahui dan bersifat strategis di dalam pertalian dengan Putusan MKRI atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/ 2023 adalah telah ditegaskan bahwa seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari Persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera [Pasal 17 ayat (3)].

Merujuk pada ketentuan-ketentuan di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, jelasdan terang kiranya bagi bukan saja para ahli hukum melainkan juga masyarakat awam hukum untuk sepakat menyimpulkan bahwa kemandirian dan integritas seorang Hakim termasuk Hakim Konstitusi terletak pada pendirian dan sikapnya untuk harus dapat membedakan atau memisahkkan secara tegas antara kepentingan pro justitia demi keadilan dengan kepentingan pribadi atau keluarga atau kekerabatannya termasuk kepentingan istri dan anak-anaknya jika dalam satu perkara terdapat keterlibatannya yang merupakan konflik kepentingan (conflict of interest) dan dapat mempengaruhi putusannya; apapun alasannya.

Kegagalan seorang Ketua MKRI, Anwar Usman, inilah menjadi penyebab munculnya berbagai reaksi bukan saja terhadap Hakim MKRI AU akan tetapi kepercayaan masyarakat luas terhadap kewibawaan lembaga MKRI runtuh seketika dan putusan MK RI dalam perkara aquo telah menjadi diskusi publik dan kini tengah menjalani sidang pemeriksaan Majelis Kehormatan MK (MKMK) dengan dugaan pelanggaran kode etik MKRI sehubungan cawapres dari salah seorang kontestan adalah keponakan dari Ketua MKRI.

Sekalipun Ketua MKRI AU mengetahui sungguh-sungguh keterlibatannya dengan seorang cawapres yang dicalonkan koalisi parpol tertentu dan tetap tidak mematuhi ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut maka secara jelas dan nyata bahwa Ketua MKRI AU telah dengan sengaja dan secara melawan hukum melanggar Pasal 21 UU 28/1999 atau UU KKN tentang larangan Nepotisme dan hakim MKRI sisanya melanggar ketentuan tentang Kolusi.

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Jika terbukti kedua dugaan pelanggaran tersebut, baik terhadap tindak pidana nepotisme maupun  kolusi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Tindak pidana kolusi dapat ditujukan terhadap kedelapan hakim MKRI karena memenuhi ketentuan dan larangan sebagaimana telah dinyatakan secara eksplisit di dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 21 UU KKN.

Di dalam ketentuan KUHP telah dicantumkan Pasal 55 KUHP yang mengatur siapa saja yang dapat dipidana karena melakukan suatu tindak pidana; yang melakukan tindak pidana itu sendiri; yang turut serta melakukan tindak pidana (deelneming); yang disuruh melakukan tindak pidana, dan yang memberikan bantuan melakukan tindak pidana.

Keempat subjek pelaku tindak pidana tersebut vis a vis tindak pidana Nepotisme dan Kolusi seharusnya dapat diterapkan terhadap   kedelapan Hakim MKRI dalam perkara aquo.  Namun demikian tuntutan pidana hanya dapat dilaksanakan setelah putusan sidang MKMK selesai diputus yang menyatakan telah terjadi pelanggaran etik. Putusan sidang MKMK, apapun putusannya mengenai pelanggaran etiknya; tidak menghapuskan sifat melawan hukum atau membebaskannya dari tuntutan atas tindak pidana nepotisme dan kolusi.

Implikasi hukum sebagai konsekuensi logis dari analisis hukum pidana tersebut maka tuntutan pidana terhadap kesembilan hakim MKRI tersebut mengakibatkan tidak sahnya putusan MKRI dalam perkara Nomor 90.

Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran
 

Berita Terkait

Berita Lainnya