20 Mei “Hari Kebohongan Nasional”

Image 3

BANGSA yang tidak kenal sejarahnya juga kehilangan identitas atau kepribadiannya.” Prof. Sartono Kartodirjo, Guru Besar Ilmu Sejarah (15.2.1921 – 7.12.2007)

Penulisan sejarah di buku-buku sekolah di Indonesia yang terbit sejak tahun 1950-an, selain banyak yang hanya merupakan terjemahan dari buku-buku sejarah bahasa Belanda dan bahasa Inggris, para mantan penjajah, juga banyak yang merupakan hasil rekayasa, manipulasi bahkan pemalsuan sejarah. Hal ini mengakibatkan, generasi sekarang tidak lagi mengetahui sejarah Indonesia dan sejarah “pra” Indonesia yang sebenarnya. Rekayasa dan manipulasi tersebut antara lain mengenai “Kebangkitan Nasional” 20 Mei 1908.

Rekayasa menetapkan tanggal 20 Mei melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 sebagai “Hari Kebangunan nasional” yang kemudian diganti menjadi “Hari Kebangkitan Nasional”, tanpa adanya kajian akademis dari para pakar sejarah, melainkan hanya penilaian beberapa politisi. Sampai tahun 1956, Indonesia belum memiliki seorangpun yang memperoleh pendidikan ilmu sejarah. Sartono Kartodirjo adalah orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Sarjana Ilmu Sejarah tahun 1956, dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Sebagai bangsa yang baru “lahir” pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki jatidiri (karakter) yang dapat dinamakan sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Yang ada adalah jatidiri sebagai orang Aceh, atau sebagai orang Ambon, atau sebagai orang Batak, atau sebagai orang Jawa, dan sebagainya.

Oleh karena itu diperlukan simbol-simbol persatuan dan tokoh-tokoh dari berbagai daerah untuk ditonjolkan sebagai “Pahlawan Nasional.” Namun peristiwa-peristiwa yang ditonjolkan sebagai gerakan kebangsaan, persatuan, perjuangan dan beberapa tokoh yang ditonjolkan sebagai “Pahlawan Nasional” tidak tepat, bahkan salah. Penulisan sejarah sangat banyak yang merupakan hasil rekayasa, manipulasi, bahkan pemalsuan- pemalsuan untuk kepentingan politik penguasa. Banyak peristiwa-peristiwa yang keliru ditonjolkan sebagai “pemersatu” antara lain “Sumpah Sriwijaya,” Sumpah Palapa Gajah Mada,” Sumpah Pemuda,” dll., yang merupakan hasil rekayasa atau “diplintir” terjemahan dan peristiwanya.

Tahun 1948, ketika Presiden Sukarno menyampaikan niatnya untuk menetapkan hari berdirinya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 sebagai “Hari Kebangunan Nasional,”1 banyak pelaku sejarah yang tidak setuju, termasuk Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang pernah menjadi anggota Budi Utomo dan kemudian keluar dari Budi Utomo. Suwardi Suryaningrat juga pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui bahwa Budi Utomo bukan gerakan kebangsaan, melainkan tujuan didirikannya adalah mengusahakan biaya pendidikan lanjutan hanya untuk putra- putra bangsawan golongan rendah dari etnis Jawa dan Madura.

Sudah cukup banyak pakar-pakar sejarah, para Guru Besar Sejarah seperti Prof. Sartono Kartodirdjo, Prof. Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Taufik Abdullah yang telah menulis mengenai kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan dalam penulisan sejarah baik di buku-buku untuk sekolah-sekolah, maupun untuk umum.

Pada waktu penyusunan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI), ketika menyusun jilid VI, Sartono mengundurkan diri karena tidak setuju dengan isi buku yang dinilainya merupakan penyimpangan penulisan sejarah. Sebelum Prof. Sartono mengundurkan diri, Prof. Taufik Abdullah, telah terlebih dahulu mengundurkan diri dari tim penyusun Sejarah Nasional Indonesia. Bahkan kabarnya, Prof. Deliar Noor “dipaksa” untuk mengundurkan diri.

Berdirinya dan Bubarnya Budi Utomo

Pada 20 Mei 1908 di Batavia (sekarang Jakarta), atas dorongan dari R. Wahidin Sudirohusodo (7.1.1852 – 26.5.1917), seorang dokter Jawa, beberapa pemuda dari etnis Jawa yang termasuk golongan priyayi (bangsawan) rendahan, yang belajar di Sekolah Dokter STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen – Sekolah Dokter Pribumi), mendirikan organisasi yang dinamakan Budi Utomo.

Tujuan didirikannya Budi Utomo adalah membantu putra-putra bangsawan Jawa dan Madura dari golongan rendah memperoleh biaya untuk pendidikan lanjutan. Pada waktu itu di kalangan komunitas etnis Jawa dan Madura, pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh putra-putra bangsawan golongan tinggi, terutama tentu yang pro Belanda. Walaupun semua anggota Budi Utomo dari etnis Jawa dan Madura, namun bahasa pengantar di Budi Utomo adalah bahasa Belanda. Bahasa Indonesia belum ada, dan bahasa Melayu belum sangat populer di kalangan masyarakat luas.

Dalam Kongres Budi Utomo pertama bulan Oktober 1908 di Yogyakarta, terjadi pergeseran arah dan tujuan didirikannya Budi Utomo, karena peserta Kongres didominasi oleh generasi tua yang adalah bangsawan-bangsawan Jawa dari golongan tinggi. Banyak di antaranya adalah pegawai-pegawai atau pensiunan pegawai pemerintah kolonial. Cukup banyak dari para bangsawan golongan tinggi yang tidak setuju dengan gagasan memberikan beasiswa pendidikan lanjutan untuk putra-putra bangsawan rendah.

Mereka berpendapat, cukup bangsawan tinggi yang mendapat pendidikan lanjutan. Yang menentang gagasan untuk memberi beasiswa kepada putra-putra bangsawan golongan rendah, a.l. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat (21.4.1879 – 20.9.1952),2 yang adalah keponakan dari Wahidin Sudirohusodo. Rajiman bahkan tidak menyetujui pendidikan barat untuk masyarakat etnis Jawa. Rajiman termasuk kelompok yang menginginkan kembalinya kejayaan Jawa.

Dalam kongres Budi utomo pertama tersebut terjadi polarisasi antara golongan muda dengan golongan tua, yang dimenangkan oleh golongan tua. Pengurus Budi Utomo juga kemudian didominasi oleh para bangsawan tinggi dari golongan tua. Pengurus pertama Budi Utomo dari golongan muda tersingkir. Yang terpilih sebagai ketua adalah Raden Adipati Tirtokusumo, mantan Bupati Karanganyar. Wakil Ketuanya adalah R. Wahidin Sudirohusodo. Pribumi, terutama para bangsawan tinggi yang dapat menjadi Bupati atau pejabat di pemerintah kolonial adalah orang-orang yang patuh dan setia kepada Belanda. Setelah Budi Utomo berdiri, banyak bangsawan dan pejabat kolonial dari etnis Jawa yang masuk menjadi pengurus dan anggota Budi Utomo.

Budi Utomo sama sekali tidak berpolitik, bahkan masih bekerjasama erat dengan pemerintah kolonial, karena mereka memang pegawai- pegawai pemerintah kolonial. RA Tirtokusumo menjadi Ketua Budi Utomo sampai tahun 1911, dan digantikan oleh Pangeran Ario Noto Dirojo. Pemerintah kolonial banyak membantu dengan pendanaan. Di masa kepengurusan Pangeran Ario Noto Dirojo, Budi Utomo mendapat dana dari pemerintah kolonial sebesar 50.000 gulden. Pemerintah kolonial membantu pendanaan dalam rangka melaksanakan “politik etis” yang dicanangkan oleh pemerintah Belanda tahun 1901. “Politik etis” mendapat banyak kecaman karena terjadi penyimpangan dalam pelaksanaanya.

Kedekatan Budi utomo dengan pemerintah kolonial membuat para pemuda pendiri Budi Utomo tidak puas, karena telah terjadi penyimpangan dari tujuan semula, yaitu mencari beasiswa untuk pemuda-pemuda Jawa-Madura dari bangsawan golongan rendah. Karena perbedaan pendapat yang sangat tajam, Suwardi Suryaningrat dan R. Cipto Mangunkusumo yang termasuk golongan muda yang progresif, kemudian keluar dari Budi Utomo. Demikian juga para pemuda Jawa yang ikut mendirikan Budi Utomo di Batavia pada 20 Mei 1908, termasuk mantan ketua dan pendiri Budi Utomo, Sutomo, keluar dari Budi Utomo.

Ada dua versi mengenai akibat dari konflik para pemuda pendiri Budi Utomo dengan kaum bangsawan tinggi pimpinan Budi Utomo. Versi pertama menyebut, bahwa mereka keluar dari Budi Utomo. Versi lain, yaitu dari Iwa Kusuma Sumantri yang pernah menulis, bahwa Sutomo dan teman-temannya yang dianggap radikal oleh para bangsawan golongan tinggi, dikeluarkan dari Budi Utomo. Iwa Kusuma Sumantri berkenalan dengan Sutomo ketika mereka bersama-sama menjadi anggota Indische Vereeniging (Perhimpunan India) di Belanda. Perlu penelitian yang lebih mendalam mengenai permasalahan antara pimpinan Budi Utomo dari golongan bangsawan tinggi dengan Sutomo dan kawan-kawannya pada awal berdirinya Budi Utomo.

Setelah selesai sekolah dokternya di Batavia, Sutomo mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Belanda tahun 1919 – 1923. Setelah kembali ke Nederlands Indië, dia tidak bergabung kembali dengan Budi Utomo, melainkan mendirikan Indonesische Studie Club (Perkumpulan Studi Indonesia) di Surabaya. Tahun 1930 Indonesische Studie Club menjadi Partai Bangsa Indonesia.

Tahun 1917, seorang tokoh Budi utomo, Raden Mas Sutatmo Suriokusumo, memprakarsai berdirinya organisasi yang dinamakan Comite voor het Javaansche Nationalisme (Komite untuk Nasionalisme Jawa), yang tujuannya adalah membangkitkan kembali kebudayaan dan kejayaan Jawa seperti di zaman Majapahit. Tokoh di balik gerakan ini dan sekaligus penyandang dananya adalah Pangeran Prangwedana dari Mangkunegaran Surakarta.

Sutatmo sendiri berasal dari keluarga pura Pakualaman Surakarta. Sumber informasi Sutatmo mengenai Majapahit berasal dari tulisan-tulisan orang-orang Belanda. Gagasan ini ditentang oleh Cipto Mangunkusumo, yang telah kembali dari pengasingan di Belanda. Cipto sendiri, seorang keturunan bangsawan Jawa yang menentang feodalisme.

Tokoh-tokoh penggagas nasionalisme Jawa menginginkan adanya pemerintahan yang dipimpin oleh para bangsawan Jawa. Tahun 1918 organisasi ini menerbitkan majalah bulanan yang diberi nama Wederopbouw (Membangun Kembali). Di awal tahun 1920-an, gagasan untuk membentuk bangsa dan negara bangsa (nation state) yang akan dinamakan Indonesia yang multi-etnis serta multi agama mulai dikenal serta dibahas di kalangan pribumi yang terpelajar, termasuk etnis Jawa dan Madura.

Hal ini berpengaruh besar terhadap dukungan untuk gagasan Sutatmo dan Pangeran Pringwedana, yaitu mengembangkan nasionalisme Jawa. Karena kurangnya dukungan dan berkembangnya gagasan untuk membentuk bangsa Indonesia dan mendirikan negara bangsa Indonesia, akhirnya tahun 1923 Comite voor het Javaansche Nationalisme dibubarkan.

Demikian juga dengan Budi Utomo sendiri, yang pergerakannya semakin lambat. Hal ini disebabkan karena Budi Utomo lebih mengutamakan pendidikan para priyayi golongan tinggi dari pada pendidikan untuk masyarakat luas, dan kecenderungan untuk kepentingan pemerintah kolonial, tahun 1935 Budi Utomo dibubarkan.

Perhimpunan Indonesia, Pelopor Gerakan Nasionalis Indonesia

“HARI MERDEKA”
Gubahan Husein Mutahar

Tujuh belas Agustus tahun empat lima,
Itulah hari kemerdekaan kita,
Hari merdeka nusa dan bangsa,
HARI LAHIRNYA BANGSA INDONESIA,
MERDEKA
Sekali merdeka tetap merdeka,
Selama hayat masih dikandung badan,
Kita tetap setia tetap sedia mempertahankan Indonesia,
Kita tetap setia, tetap sedia membela negara kita.

Lagu “Hari Merdeka” diperkenalkan pada awal tahun 1946 oleh Mayor TNI AL Husein Mutahar di Yogyakarta, Ibukota Sementara, beberapa bulan setelah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ketika itu semua pendiri negara dan yang membentuk bangsa Indonesia masih ada. Mereka semua sangat memahami, bahwa bangsa Indonesia memang baru lahir pada 17 Agustus 1945, karena merekalah yang menggagas pembentukan bangsa dan berdirinya negara bangsa (nation state) yang kemudian dinamakan Indonesia.

Bangsa (nation) Indonesia, dalam hal ini sebagai entitas politik (political entity), bukan dalam pengertian etnologi atau antropologi budaya. Bangsa Indonesia dibentuk dari lebih dari 1.300 etnis dan sub-etnis yang ada di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (dalam bahasa Melayu: India Belanda).3

Gerakan pembentukan bangsa dan mendirikan suatu negara bangsa (nation state) yang akan dinamakan Indonesia dimulai awal tahun 1920-an oleh para pemuda pribumi yang berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië, yang melanjutkan pendidikan di Eropa, terutama di Belanda. Mereka tergabung dalam organisasi yang semula dinamakan Indische Vereeniging (dalam bahasa Melayu: Perhimpunan India).4

Tahun 1922 nama organisasi diganti menjadi Indonesische Vereeniging (dalam bahasa Melayu: Perhimpunan Indonesia). Dengan demikian, Perhimpunan Indonesia di Belanda merupakan organisasi pribumi yang pertama menggunakan nama Indonesia. Sosialisasi gerakan ini di Nederlands Indië, termasuk memperkenalkan nama negara yang akan didirikan, Indonesia, awalnya dilakukan melalui tulisan-tulisan dalam majalah yang diterbitkan oleh Indische Vereeniging dengan nama “Hindia Putera”, yang dikirim ke Nederlands Indië.

Pada 1 Januari 2000 Prof. Sartono Kartodirjo menulis artikel dengan judul “Perhimpoenan Indonesia dan Manifesto Politik.”5 Artikel tersebut tahun 2005 dimuat dalam bukunya yang berjudul “Sejak Indische Sampai Indonesia.”6 Dalam artikel tersebut, Sartono mengangkat peran Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, di mana Sartono menulis:7

“Jauh lebih dahulu sebelum perkumpulan-perkumpulan lain-lainnya, Perhimpunan Indonesia telah mengekspresikan aspirasi politik, karena sadar betapa rendah status politik pribumi dibanding dengan kaum Eropa atau Belanda, baik sistem diskriminasi maupun sistem segregasi sangat mencolok dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat kolonial.”

Mencermati perjuangan Perhimpunan Indonesia, Sartono menilai, bahwa Perhimpunan Indonesia di Belanda adalah perintis gerakan nasionalis Indonesia. Sehubungan dengan ini, Sartono menulis:8

“Sebagai perintis gerakan nasionalis Indonesia, tujuan PI adalah ke arah emansipasi politik beserta aktivitas dalam kemandiriannya. Bersamaan dengan itu, kesatuan menjadi ideologi gerakan nasionalis. Dalam pernyataan dasar-dasar perkumpulan PI tercantum antara lain pembebasan Indonesia dari penjajahan melalui aksi massa rakyat yang penuh kesadarannya dan mengubah nama majalah menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyan “Merdeka”.

Pendapat Prof. Sartono ini didukung oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Taufik Abdullah. Prof. Ahmad Syafii merujuk pada kesaksian dari R. Ali  Sastroamijoyo, Pahlawan Nasional, (21.5.1903 – 13.3.1975), yang pernah menjadi anggota Jong Java (Pemuda Jawa). Sebagaimana diketahui, Jong Java merupakan organisasi pemuda Jawa yang adalah bagian dari Budi Utomo. Ahmad Syafii menulis: 9

“Karena itu, agar kita berlaku jujur dan adil terhadap masa lampau kita, saya mengusulkan agar penetapan permulaan Hari Kebangkitan Nasional adalah saat terbentuknya PI (Perhimpunan Indonesia – pen.),yang semula bernama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging, kemudian kukuh dalam bahasa Indonesia sebagai Perhimpunan Indonesia.”

Prof. Taufik Abdullah yang mendukung pendapat Prof. Sartono, dalam Kata Pengantar di buku “Sejak Indische Sampai Indonesia,” menulis antara lain:10

“Begitulah kalau sejarah pergerakan kebangsaan dikaji lebih teliti, maka kelihatanlah bahwa mahasiswa yang bergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhny bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme anti kolonial yang radikal. Muda, terpelajar dan kosmopolitan para mahasiswa itu dengan jelas merumuskan ke mana pergerakan kebangsaan semestinya harus diarfahkan.”

Penggagas berdirinya Indische Vereeniging adalah Rajiun Harahap. Pada 15 November 1908, atas prakarsa Rajiun Harahap yang kemudian bergelar Sutan Kasayangan Soripada, belasan pemuda pribumi yang berasal dari berbagai daerah di jajahan Belanda, Nederlands Indië yang melanjutkan pendidikan di Belanda, mendirikan organisasi yang dinamakan Indische Vereeniging (Perhimpunan India).11 Waktu itu, nama Indonesia samasekali belum dikenal. Juga di kalangan ilmuwan Belanda nama Indonesië (Indonesia dalam cara penulisan Belanda) belum dikenal.

Organisasi Indische Vereeniging awalnya hanya bersifat kekeluargaan untuk saling menolong sesama perantau dari wilayah jajahan Belanda. Organisasi ini mulai bersifat politis tahun 1913. Di sini mulai timbul pemikiran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan juga timbul keinginan untuk mendirikan suatu negara merdeka.

Sosialisasi gerakan kebangsaan dan memperkenalkan nama Indonesia di Nederlands Indië sangat gencar dilakukan, setelah para aktivis Perhimpunan Indonesia kembali ke Nederlands Indië. Gerakan kebangsaan ini tersebar luas dengan cepat di masa pendudukan tentara Jepang, karena Jepang datang dengan janji, akan memberi kemerdekaan kepada rakyat di bekas wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara. Gerakan kebangsaan ini berhasil diwujudkan pada 17 Agustus 1945. Dapat dikatakan, hampir semua pribumi terpelajar di wilayah bekas jajahan Belanda mengatahui mengenai telah didirikannya negara yang dinamakan Indonesia.

Namun di kalangan masyarakat luas, terutama di daerah-daerah pedalaman/pedesaan, apalagi di daerah-daerah di luar pulau Jawa, belum banyak yang mengetahui atau menyadari, bahwa bangsa Indonesia sebagai entitas politik, baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945. Bahwa bangsa Indonesia, adalah bangsa yang baru dibentuk, yang terdiri dari lebih dari 1.000 etnis dan sub-etnis serta memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Melayu yang namanya diganti menjadi bahasa Indonesia.

Kesimpulan

Meninggalkan sejarah Indonesia, membuat Indonesia menjadi sejarah. (Batara R. Hutagalung)

Perjuangan untuk mewujudkan gagasan membentuk bangsa dan mendirikan negara bangsa yang akan dinamakan Indonesia, membutuhkan waktu sekitar 25 tahun, sampai berhasil direalisasikannya gagasan tersebut pada 17 Agustus 1945.

Lagu Hari Merdeka gubahan Husein Mutahar kemudian ditetapkan sebagai salahsatu lagu nasional, yang diajarkan dan dinyanyikan sejak di Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar). Sejak tahun 1946 sampai sekarang tahun 2023, ratusan juta rakyat Indonesia telah mengenal dan menyanyikan lagu tersebut. Namun kelihatannya sekarang tidak banyak yang menyadari atau memahami kalimat dalam lagu tersebut, bahwa pada 17 Agustus 1945, selain sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia, juga adalah Hari Lahirnya Bangsa Indonesia.

Prof. Sartono Kartodirjo adalag salahsatu pelopor penulisan Historiografi Nasional Moderen. Namun para pakar sejarah yang menginginkan penulisan historiografi Nasional Indonesia yang sebenanrya agar generasi sekarang dan mendatang mengetahui sejarah yang sebenanrnya, tidak berhasil mengalahkan kepentingan politik penguasa, yang terus-menerus memanipulasi dan bahkan memalsukan penulisan-penulisan sejarah.

Sejak awal, mereka yang iktu mendirikan Budi Utomo dan para aktivisnya telah menyatakan, bahwa Budi Utomo bukanlah perintis gerakan nasionalis Indonesia, melainkan hanya untuk kepentingan para bangsawan Jawa dan Madura, dan bukan untuk etnis-etnis lain di wilayah jajahan Belanda. Namun hingga saat ini, ketika artikel ini ditulis pada 20 Mei 2023, tidak terlihat ada upaya dari pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap penulisan-penulisan sejarah yang merupakan hasil rekayasa, manipulasi dan pemalsuan-pemalsuan, antara lain mengenai “Sumpah Pemuda”, Sumpah Palapa Gajah Mada”, dll.

Untuk membangun bangsa dan jatidiri bangsa, seluruh rakyat Indonesia harus mengetahui sejarah yang sebenarnya.

Artikel ini merupakan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung: “BANGSA INDONESIA LAHIR 17 AGUSTUS 1945.” Terbit Desember 2022, 326 halaman.

Catatan:
1 Sekarang dinamakan sebagai “Hari Kebangkitan Nasional.”
2 Dalam BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) tahun 1945, KRT Rajiman Wedyodiningrat diangkat menjadi ketua.
3 Pada waktu itu, Belanda menamakan wilayah jajahannya di Asia Tenggara sebagai Nederlands Indië. Selama ini, Nederlands Indië diterjemahkan sebagai Hindia Belanda. Di sini digunakan terjemahannya sebagai India Belanda, tanpa huruf “H.” Belanda menamakan penduduk di wilayah jajahannya sebagai Indiër (bahasa Melayu: orang India)
4 Bahasa Indonesia belum ada. Bahasa Melayu kemudian diadopsi sebagai bahasa persatuan dari banga yang akan didirikan dengan nama Indonesia. Bahasa Melayu resmi dinyatakan sebagai bahasa Indonesia melalui Undang-Undang Dasar yang diresmikan pada 18 Agustus 1945, Pasal 36, yhaitu: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
5 Artikel tersebut dimuat di Harian Kompas, Sabtu, 1 Januari 2000.
6 Sartono Kartodirdjo, “Sejak Indische Sampai Indonesia,” Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Desember 2005.. Pengantar disampaikan oleh Prof. Taufik Abdullah.
7 Sartono Kartodirdjo, op.cit. hlm. 4.
8 Ibid., hlm. 8.
9 Mingguan GATRA 30 Mei 2007, halaman 106.
10 Ibid., hlm. Xii.
11 Pada waktu itu, Belanda menyebut penduduk di wilayah jajahannya sebagai Indiër, yaitu orang India. Ajektifnya dalam bahasa Belanda adalah Indisch.