Langkah Mengacak Acak PLN Harus Dihentikan

Image 3
SELAIN alasan yang bersifat strategis terkait dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan penyelamatan hajat hidup rakyat, terdapat berbagai alasan yang lebih spesifik mengapa program holding dan sub holding PLN perlu dihentikan. Berikut alasannya.

Kondisi geopolitik global yang penuh dengan ketidakpastian. Kenaikan harga komoditas energi lainnya yang mengikuti pergerakan harga minyak seperti gas dan komoditas energi lainnya yang belum menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) harga, secara agregat memberikan tekanan terhadap kenaikan biaya produksi listrik PT PLN (Persero). Penurunan nilai rupiah terhadap mata uang US$ juga menyebabkan kenaikan biaya operasi BUMN energi karena sebagian transaksi di sektor hulu, baik migas maupun listrik masih menggunakan nilai US$ atau setara US$. Selain itu, volatilitas valas juga berpengaruh secara signifikan terhadap nilai aset dan utang bersih BUMN sektor energi.

Beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu antara lain berupa komitmen subsidi dari Pemerintah, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, serta kekurangan pasokan batubara. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 berimbas juga kepada PT PLN (Persero) dari sisi penurunan pertumbuhan penjualan tenaga listrik khususnya di sektor industri dan bisnis yang pada akhirnya berimbas terhadap produksi pembangkit FTP I.

Total kapasitas proyek FTP I yang sudah beroperasi sampai dengan bulan Juni 2022 sebesar 9.722 MW atau 97,5 persen dari target sebesar 9.975 MW dan sisanya sebesar 14 MW gagal tender, sebesar 64 MW diterminasi, serta 175 MW sedang dalam proses penyelesaian. Sampai dengan bulan Juni 2022 dari total 36 perjanjian kredit yang dijamin, terdapat 31 perjanjian kredit yang telah lunas sehingga surat jaminan Pemerintah untuk perjanjian kredit tersebut juga berakhir dengan sendirinya.

Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap penjaminan pemerintah dalam meastikan kemapuan beli listrik PLN. Skema penjaminan tersebut sesuai dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2010 beserta perubahannya yang merupakan dukungan Pemerintah untuk PT PLN (Persero). Dukungan tersebut diberikan dalam konteks PT PLN (Persero) sebagai satu-satunya pihak pembeli listrik, gagal memenuhi kewajiban finansial tagihan listrik yang dihasilkan oleh proyek pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) maupun ketika terjadi risiko politik yang mengakibatkan proyek tidak dapat dilanjutkan sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL). Pada skema penjaminan tersebut, Pemerintah c.q. Menteri Keuangan menerbitkan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) Sampai dengan bulan Juni 2022, Pemerintah telah menerbitkan 13 SJKU untuk proyek dengan skema IPP.

Dari total 13 SJKU tersebut, 3 SJKU telah berakhir yaitu untuk Proyek PLTU Kaltim, PLTP Rajabasa, dan PLTP Ijen. Sementara itu, terdapat 3 proyek yaitu PLTU Jawa 1, PLTU Jawa 4, dan PLTU Jawa 3 dimana dasar hukum penerbitan SJKU mengacu kepada PMK Nomor 130/PMK.08/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan, sebagaimana telah diubah menjadi PMK Nomor 135/PMK.08/2019.

Banyaknya pembangkit yang belum beroperasi sesuai jadwal. Total kapasitas proyek FTP II yang sudah beroperasi sampai dengan bulan Juni 2022 sebesar 836 MW atau 75,3 persen dari total sebesar 1.110 MW. Adapun sisa unit pembangkit yang belum beroperasi yaitu PLTP Muara Laboh Unit 2 (140 MW) dan PLTP Rantau Dedap Unit 2 (134 MW), diharapkan seluruh kemajuan progresnya dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal.

Masih tingginya resiko keuangan akibat kewajiban yang dimandatkan oleh regulasi. Faktor-faktor risiko yang dapat memengaruhi keberlangsungan proyek maupun kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban finansial kepada pengembang listrik swasta, antara lain kebijakan tarif dan subsidi, perizinan, fluktuasi nilai tukar, dan kenaikan harga BBM. Dampak adanya pandemi Covid-19 terhadap proyek FTP II, diantaranya terkait dengan risiko ketersediaan material proyek yang terhambat dan keterlambatan penyelesaian proyek transmisi untuk evakuasi daya. Risiko-risiko tersebut dapat menyebabkan keterlambatan COD dari jadwal yang seharusnya. Oleh karena itu, langkah-langkah mitigasi yang dilakukan PT PLN (Persero) diantaranya mengoptimalkan konstruksi dengan menggunakan material lokal yang memiliki kualitas setara ataupun dengan melakukan prioritas proyek transmisi.

Masih beratnya tugas transisi energi yang diemban oleh PLN sebagai bagian dalam mendukug Indonesia G20 Presidency; Pemerintah terus mendorong penyelesaian proyek-proyek pembangkit listrik berbasis EBT seperti PLTA dan PLTP. Hal ini dilakukan guna mendukung pencapaian target bauran EBT sebesar 23,0 persen pada tahun 2025.

Masih banyaknya pinjaman yang harus disalurkan pemerintah bagi PLN yang harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan terintegrasi ; Program Pemberian Pinjaman turut serta dalam pengembangan pembiayaan inovatif dan green economy, terutama dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dan pandemi Covid-19 melalui proyek pendanaan yang dilaksanakan PT SMI (Persero) diantaranya proyek Geothermal Resource Mitigation, Regional Infrastructure Development Fund, dan SIO-Green Finance Facility.

Masih banyaknya penjaminan negara atas proyek PLN. Dalam rangka PEN, Pemerintah memberikan penjaminan antara lain melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk dalam bentuk penjaminan atas kredit/obligasi kepada BUMN dan kredit modal kerja pelaku usaha yang diberikan oleh perbankan penjaminan investasi dapat diberikan baik secara langsung oleh Pemerintah atau melalui PT PII (Persero). Penjaminan oleh PT PII (Persero) dapat dilakukan secara sendiri atau bersama Pemerintah (co-guarantee) dalam menjamin risiko infrastruktur sesuai prinsip alokasi risiko untuk proyek KPBU dan penjaminan risiko politik oleh Pemerintah untuk PSN.

Masih banyaknya penjaminan pemerintah yang akan diberikan untuk keseuksesan proyek 35 ribu MW. Penjaminan pemerintah dalam mendukung program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik diberikan kepada pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara (Proyek 10.000 MW Tahap I). Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batu Bara.

Banyaknya penjaminan yang telah diberikan sehingga harus ada pemisahan asset yang jelas terlebih dahulu. Sejak awal pelaksanaannya hingga akhir Juni 2022, Pemerintah telah menerbitkan jaminan pinjaman sebanyak 32 surat jaminan untuk proyek pembangkit dan 4 (empat) surat jaminan untuk proyek transmisi. Nilai total jaminan pemerintah tersebut adalah sebesar Rp40.891,9 miliar dan US$3,9 miliar. Secara umum, total pembangunan Proyek 10.000 MW Tahap I adalah sebesar 9.975 MW atau 37 PLTU.

Masih banyaknya proyek yang gagal dengan status terminasi dan gagal tender dengan total kapasitas 78 MW sehingga Proyek 10.000 MW Tahap I memiliki total kapasitas 9.897 MW atau 33 PLTU, yang terbagi di JawaBali sebesar 7.490 MW atau 10 PLTU, di Sumatera sebesar 1.411 MW atau 8 PLTU, di Kalimantan sebesar 625 MW atau 5 PLTU, di Sulawesi sebesar 220 MW atau 4 PLTU, dan di Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua sebesar 151 MW atau 6 PLTU. Ini harus disukseskan terlebih dahulu.

Masih banyaknya proyek pinjaman luar negeri yang harus diselesaikan. Pemerintah juga menjamin pembiayaan infrastruktur melalui skema penjaminan atas pinjaman langsung (direct lending) sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2015 tentang Jaminan Pemerintah Pusat atas Pembiayaan Infrastruktur melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada Badan Usaha Milik Negara.

Secara umum, Pemerintah sampai dengan akhir Juni 2022 telah menandatangani 11 perjanjian jaminan dengan total nilai US$3,6 miliar dan €1,0 miliar. Adapun perkembangan penarikan pinjaman proyek infrastruktur yang dibiayai melalui direct lending hingga Juni 2022 sebagian adalah terkait ketenagalistrikan, yakni;

(1) Proyek Pengembangan Jaringan Kelistrikan Sumatera menggunakan sumber pendanaan ADB dengan capaian 100,0 persen dan telah beroperasi;
(2) Pengembangan Jaringan Distribusi Sumatera menggunakan sumber pendanaan IBRD World Bank dengan capaian 100,0 persen dan telah beroperasi;
(3) Penguatan Jaringan Listrik Nasional (Power Grid Enhancement Project) dengan sumber pendanaan IsDB dengan capaian 58,7 persen;
(4) Pengembangan/Penguatan Jaringan Distribusi Sulawesi dan Nusa Tenggara dengan sumber pendanaan ADB dengan capaian 91,3 persen;
(5) Pembangunan KEK Mandalika (pembangunan jalan beserta fasilitas pendukung, fasilitas drainase, jaringan kelistrikan, instalasi, dan jaringan limbah, serta fasilitas publik lainnya) dengan sumber pendanaan AIIB kepada PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) dengan capaian 27,0 persen;
(6) Proyek Hydropower Plant dengan sumber pendanaan KfW dengan capaian 0,3 persen;

(7) Geothermal Power Generation yang dibiayai ADB dengan capaian 15,5 persen (untuk Ordinary Operations Loan) dan 3,9 persen (untuk Clean Technology Fund);
(8) Jaringan Listrik Sulawesi dan Nusa Tenggara yang dibiayai KfW dengan capaian 50,6 persen;
(9) Jaringan Distribusi Indonesia Bagian Timur Tahap 2 yang dibiayai ADB dengan capaian 46,0 persen;
(10) Jaringan Distribusi timur Jawa dan Bali yang dibiayai oleh AIIB dengan capaian 20,0 persen; dan
(11) Jaringan Transmisi dan Distribusi di Jawa Bagian Barat dan Jawa Bagian Timur yang dibiayai oleh ADB belum ada penarikan.

Adanya kebutuhan terkait penjaminan yang medesak dan menjadi prioritas pemerintah seperti untuk Proyek LRT Jabodebek, sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit Terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2017, Pemerintah telah menerbitkan penjaminan untuk pinjaman sindikasi perbankan kepada PT KAI (Persero) dalam rangka pembangunan proyek LRT Jabodebek senilai Rp19.250,0 miliar pada tahun 2017 dan penambahan plafon pinjaman senilai Rp4.169,1 miliar pada tahun 2020 sehingga total pinjaman menjadi Rp23.419,1 miliar.

Adapun sampai dengan akhir Juni 2022, perkembangan konstruksi dari Proyek LRT Jabodebek Tahap 1 sebagai berikut: (1) sarana sebesar 62,0 persen; (2) prasarana sebesar 97,6 persen; (3) akses stasiun sebesar 84,6 persen; (4) integrasi sistem sebesar 64,8 persen; dan (5) kesiapan operasi sebesar 42,3 persen.

Selanjutnya, untuk penjaminan Proyek Infrastruktur Ketenagalistrikan sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017, Pemerintah hingga akhir Juni 2022 telah menerbitkan 3 (tiga) surat jaminan untuk pinjaman kredit PT PLN (Persero) dengan total nilai pinjaman sebesar Rp12.423,8 miliar dan 3 (tiga) surat jaminan kelayakan usaha PT PLN (Persero) untuk proyek PLTU Jawa 1, PLTU Jawa 3, dan PLTU Jawa 4 dengan total nilai proyek sebesar US$9,1 miliar.

Hingga bulan Juni 2022, untuk penjaminan kredit, dari 18 Proyek Pembangunan Transmisi dan Gardu Induk (GI) di wilayah Jawa Bagian Tengah (JBT) sebanyak 17 proyek telah beroperasi. Selain itu, untuk proyek pembangkit, dari 18 proyek pembangkit yang mendapat jaminan pemerintah, terdapat 3 (tiga) pembangkit dengan total kapasitas sebesar 315 MW telah beroperasi secara komersial (COD).

Masih beratnya beban take or pay (TOP) atau kewajiban membeli listrik swasta, sehingga butuh banyak penjaminan regulasi. Penjaminan infrastruktur pada proyek KPBU dapat dilaksanakan dengan cara penjaminan hanya oleh BUPI atau penjaminan BUPI bersama-sama dengan penjaminan Pemerintah. Keterlibatan Pemerintah dalam penjaminan infrastruktur menimbulkan risiko fiskal berupa kewajiban kontingensi atas kemungkinan terjadinya klaim penjaminan apabila PJPK tidak mampu memenuhi kewajiban finansialnya bilamana terjadi risiko infrastruktur.

Terdapat 7 (tujuh) proyek KPBU yang mendapat penjaminan BUPI bersamasama dengan penjaminan Pemerintah, yaitu PLTU Batang 2x1.000 MW, jalan tol Jakarta. Pemerintah bersama BUPI menjamin kegagalan pembayaran pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dan terminasi yang disebabkan oleh risiko politik dengan pembagian klaim sampai dengan Rp300,0 miliar dijamin oleh BUPI, sedangkan selebihnya dijamin oleh Pemerintah Cikampek II (elevated), jalan tol Krian-LegundiBunder-Manyar, jalan tol Cileunyi-SumedangDawuan, jalan tol Serang-Panimbang, jalan tol Probolinggo-Banyuwangi, dan jalan tol Jakarta-Cikampek II Selatan.

Penjaminan infrastruktur pada proyek PLTU Batang 2x1.000 MW dilakukan dengan cara penjaminan bersama, yaitu penjaminan infrastruktur yang dilaksanakan oleh Pemerintah bersama BUPI sesuai Pasal 25 Perpres Nomor 78 Tahun 2010. Perjanjian penjaminan untuk proyek senilai kurang lebih US$4,2 miliar tersebut telah ditandatangani bersama dengan penandatanganan perjanjian jual beli tenaga listrik pada 6 Oktober 2011.

Proyek tersebut telah mencapai financial close pada 6 Juni 2016 dan saat ini sedang dalam masa konstruksi. Pemerintah bersama BUPI menjamin kegagalan pembayaran pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dan terminasi yang disebabkan oleh risiko politik dengan pembagian klaim sampai dengan Rp300,0 miliar dijamin oleh BUPI, sedangkan selebihnya dijamin oleh Pemerintah. Selanjutnya, lingkup penjaminan Pemerintah pada proyek jalan tol adalah: (1) pembayaran nilai terminasi akibat keterlambatan pengadaan tanah; (2) pembayaran nilai terminasi akibat keterlambatan penyesuaian tarif; (3) pembayaran nilai terminasi akibat perubahan hukum dan/atau tindakan/tiadanya tindakan Pemerintah; dan (4) pembayaran nilai terminasi akibat keadaan kahar.

Berita Terkait

Berita Lainnya