Tragis, Kok APBN 2023 Mengulangi Kesalahan Sama Soal Subsidi Energi

Image 3

PEMERINTAH sepertinya tidak belajar akan beranjak dari pola yang sama dalam mengatasi BBM.

Subsidi energi 2023 dirancang dengan ketidakakuratan asumsi penentuan ICP, penentuan kurs dan penentuan volume BBM subsidi.

Belum juga dilaksanakan, Pemerintah sudah meminta koreksi hitung-hitungan subsidi energi 2023 ke Bangar DPR RI. Ini terbukti dari ajuan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dengan meminta tambahan belanja negara pada subsidi energi di 2023 sebesar Rp 1,3 triliun dengan alasannya karena target penerimaan negara dari Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2023 juga meningkat Rp. 19,4 triliun.

Besaran subsidi energi yang dimasukkan ke dalam RUU APBN 2023 sebesar Rp 210,7 triliun. Besaran itu belum ditambahkan dengan kompensasi energi.

Kenaikan yang diajukan oleh Menteri Keuangan ini juga dirinci dari mulai subsidi BBM dan LPG naik dari Rp 138,3 triliun menjadi Rp 139,4 triliun atau Rp 1,1 triliun, penambahan Rp 600 miliar untuk Jenis BBM Tertentu (JBT) dan Rp 400 miliar untuk LPG 3 kg. Subsidi listrik naik 0,3 triliun. Sehingga total subsidi energi Rp 212 triliun naik dari Rp 210,7 triliun atau naik Rp 1,3 triliun.

Menurutnya untuk hitungan ICP masih tetap sama dari RAPBN 2022 dengan asumsi di US$90 per barel. Namun, nilai tukar rupiah mengalami koreksi atau kenaikan dari semula Rp 14.750 per dolar AS menjadi Rp 14.800 per dolar AS.

Selain itu, subsidi energi naik menjadi Rp212 triliun tahun 2023 tidak disertai rencana menyelesaikan subsidi yang salah sasaran dan juga rencana kemandirian energi sebagai dua sumber kenaikan BBM subsidi selama ini.

Melihat dari apa yang diajukan oleh Menteri Keuangan ke Banggar tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada langkah baru pemerintah dalam pengelolaan energi. Ujungnya subsidi energi makin besar. Hal ini akan terus menerus berulang karena pemerintah malas dan tidak kreatif mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Pemerintah seharusnya bisa menempuh langkah-langkah jangka panjang seperti mengefisiensikan Pertamina yang didalamnya termasuk pengolahan dari minyak mentah hingga menjadi BBM yang jauh lebih mahal daripada biaya produksi yang dilakukan oleh produsen-produsen BBM di Timur Tengah, menjadikan subsidi itu tidak salah sasaran, mencari sumber minyak baru yang lebih murah seperti dari Rusia dan negara-negara pantai Afrika, membangun produsen minyak nabati yang dikonversi menjadi BioFuell yang bisa dipakai untuk berbagai jenis kendaraan yang ada dinegara ini dan tentunya harus dikuasai oleh negara.

Semestinya pemerintah bisa mengoptimalkan BRIN sebagai leading dalam riset untuk bisa difungsikan peranannya untuk mencari invoasi-inovasi energi baru sehingga masa depan swasembada energi nasional bisa terwujud dalam kurun waktu yang lebih cepat.

Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan maka negara kita akan terjebak di isu dan perdebatan yang sama yang terus berulang selama lebih dari 20 tahun yaitu subsidi tidak tepat sasaran dan APBN jeblok. Pemerintah harusnya ingat dengan pepatah “Keledai tidak masuk ke lubang yang sama dua kali”.

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

 

Berita Terkait

Berita Lainnya