Perjamuan Sejarah JMSI Kepri di Pulau Penyengat

Image 3
Rombongan peserta Rapimnas I di batam lakukan ziarah ke pulau Penyengat, Minggu (20/03/2022)

Hendro Saky, Ketua JMSI Aceh

Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kepulauan Riau (Kepri), jadi tuan rumah Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) 2022. Sejumlah agenda penting dibicarakan terkait dengan arah dan tujuan organisasi perusahaan pers itu kedepannya. Dihadiri pengurus daerah dari penjuru nusantara, Jumat (18/3/2022), rangkaian kegiatan berlangsung lancar.

Dua hari berjibaku dengan agenda-agenda penting organisasi, di Kota Batam, Minggu (20/3/2022), Pengurus Daerah (Pengda) JMSI Kepri membawa kami wisata keliling kota atau city tour, dan daerah yang dituju adalah Pulau Penyengat.

Berjarak lebih kurang 37 kilometer dari pusat Kota Batam, rombongan kami, termasuk didalamnya, Ketua Umum Teguh Santosa, Ketua JMSI Kepri Eddy Supriatna, dan pujangga Kepri, Ramon Damora, begerak ke Pelabuhan Telaga Punggur. Berjarak Tiga puluh menit perjalan kami tiba di dermabaga penyebrangan itu.

Dua unit speedboat yang disiapkan Dinas Pariwisata provinsi Kepri, sudah menunggu, kapal fiber yang digerakkan dengan tiga mesin berkuatan 250 horse power itu, membawa kami membelah perairan di gugusan Pulau Bintan.

Penyengat merupakan satu dari dari banyak pulau di wilayah Bintan. Luas pulau itu hanya 2 kilometer persegi, atau 240 hektar. Letaknya lebih dekat ke Tanjung Pinang, pusat pemerintahan Provinsi Kepri.

Dari catatan sejarah, Pulau Penyengat sudah dikenal oleh pelaut-pelaut pada masa dahulu, sebab di daerah ini terdapat perigi atau sumur yang menyediakan air tawar bagi para pelaut dulu kala.

Dari cerita-cerita rakyat, kata Penyengat yang ditabalkan untuk pulau itu sendiri, bermuasal dari adanya serangan binatang berbisa terhadap pelaut yang melanggar larangan saat mengambil air tawar di sana, nama hewa itu selanjutnya disebut Penyengat, dan lantas dilekatkan nama tempat tersebut menjadi Pulau Penyengat.

Dikutip dari wikipedia, Pulau Penyengat dulunya pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga, dan pulau itu merupakan mas Kawin Sultan Mahmud Syah saat menikah Engku Raja Hamidah pada 1803.

Melaju dengan kecepatan 40 knot atau 80 kilometer perjam, kapal yang kami tumpangi itu bergerak lincah, lewati pulau-pulau kecil, dan tampak juga perahu nelayan tengah memancing ikan. Tidak kurang 27 menit speedboat kami pun tiba Pelabuhan Pulau Penyengat.

Untuk menuju Pulau Penyengat, selain menyewa speedboat seharga Rp2 juta sekali jalan dengan kapasitas penumpang 25 orang, kita juga dapat menaiki Kapal Motor Penumpang (KMP) jenis RoRo lewat Pelabuhan Punggur. Dengan ongkos Rp68 ribu, nantinya kita akan tiba di Tanjung Pinang, dan selanjutnya naik perahu Pompong dengan ongkos Rp7 ribu ke Pulau Penyengat.

Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat

Dari Pelabuhan, kami bergerak berjalan kaki ke Masjid Raya Pulau Penyengat. Jaraknya tidak kurang satu kilometer dari tempat kedatangan kami tadi.

Dari kejauhan, keberadaan Masjid Raya Pulau Penyengat, kontras dengan bangunan lainnya. Dominasi warna kuning emas, letak bangunan itu juga lebih tinggi dibandingkan perumahan masyarakat.

Menuju kedalam masjid, kita akan melewati anak tangga yang berjumlah 13 buah. Terdapat gerbang terbuat dari beton berbentuk kubus setinggi dua meter, dan gerbang itu bersambung dengan pagar beton yang mengeliling masjid. Konstruksi pagar itu lebih terlihat seperti benteng kokoh yang membentengi masjid tersebut.

Melewati pagar, kita akan mendapati halaman luas yang pada sisi kanan kirinya terdapat dua bangunan besar, atau bisa di sebut rumah Sotoh, ada juga dua balai berkontruksi kayu di halaman masjid itu.

Memasuki dalam masjid, kita bisa melihat sisa-sisa kejayaan era Kesultan Riau Lingga dari konstruksi bangunan, tebal dinding masjid, ornamen dalam masjid, serta tiang penyanggah mencirikan kentalnya budaya melayu pada bangunan tersebut.

Ditopang empat tiang sebagai penyanggah, Masjid Raya Pulau Penyengat memiliki 13 kubah, yang tersusun 3 kubah bagian depan, 3 kubah bagian tengah, dan empat kubah bagian depan pintu masuk. Terdapat dua menari kecil di depan ke arah kiblat, dan dua menara tinggi yang agak besar di depan pintu masuk pada kedua saya kiri dan kanan. Secara total, masjid ini memiliki 17 kubah.

Menurut salah satu penjaga Masjid, keberadaan 17 menara itu dilambangkan sebagai jumlah rakaat dalam sholat. Ia juga menjelaskan, dinding bangunan masjid memiliki ketebalan 50 sentimeter, dan terbuat dari campuran tanah lempung atau tanah liat yang dicampur dengan putih telur.

Mengutip wikipedia, saat awal di bangun oleh Sultan Mahmud pada 1803, kontruksinya masih berupa kayu, namun pada 1832, Raja Abdurrahman bersama dengan lima ribu masyarakat Penyengat memugar masjid itu, hingga bangunan menjadi seperti yang terlihat saat ini.

Komplek Makam Raja Hamidah Engku Putri

Dari Masjid Raya Pulau Penyengat, kami bergerak ke arah Selatan, menuju komplek Makam Raja Hamidah Engku Putri. Jaraknya 10 menit perjalanan dari masjid.

Di komplek pemakaman tersebut, dikebumikan Raja Hamidah Engku Putri, permaisuri Raja Mahmud Riayat Syah.

Banyak pohon besar di sekitar makan, membuat kawasan itu sejuk dan teduh. Dari beberapa keterangan yang tertulis pada pamplet terbuat dari campuran semen dan pasir berbentuk seperti papan tulis, terdapat sejumlah nama-nama yang juga dikebumikan di komplek itu, seperti Raja Ahmad, Raja Alimaji, dan Raja Abdullah, serta Raja Aisyah.

Hari pun beranjak siang, azan berkumandang dari Masjid Raya Sultan Riau Pula Penyengat, dan rombongan JMSI se-Indonesia menunaikan sholat zuhur. Usai sholat, dilanjutkan dengan makan siang bersama, sungguh sebuah perjamuan sejarah dari JMSI Kepri bagi seluruh JMSI di nusantara.

Berita Terkait

Berita Lainnya