Lebih parah lagi, hukum dijadikan alat politik, untuk menghukum para pihak yang tidak sejalan atau sepaham. Tidak jarang hukum juga dijadikan alat “pemerasan”.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
“NEGARA Indonesia adalah negara hukum”, hanya ada di atas kertas, sebagai hiasan konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Faktanya, hukum tidak berlaku bagi para elit yang mempunyai uang dan kuasa. Hukum adalah apa yang dikatakan penguasa dan penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman. Kadang-kala termasuk Mahkamah Konstitusi. Frasa “I am the Law”, L'État, c'est moi, mendekati fakta nyata di Indonesia.
Di lain sisi, hukum berlaku tajam bagi rakyat jelata. Misalnya, kakek 71 tahun dituntut 2 tahun penjara karena menangkap lima ekor burung candet di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Alasannya, kakek melanggar UU konservasi. Sedangkan yang melanggar UU konservasi di Taman Nasional lainnya yang mengakibatkan bencana yang menenggelamkan puluhan desa dan menewaskan lebih dari seribu nyawa di tiga provinsi, masih aman-aman saja. Itulah fakta hukum Indonesia.
Lebih parah lagi, hukum dijadikan alat politik, untuk menghukum para pihak yang tidak sejalan atau sepaham. Tidak jarang hukum juga dijadikan alat “pemerasan”.
Setiap pejabat negara, termasuk pejabat BUMN, bisa didakwa korupsi dan dihukum penjara. Dengan alasan, merugikan keuangan negara. Kalau tidak terbukti memperkaya diri sendiri, artinya tidak ada suap atau gratifikasi, maka tuduhan beralih menjadi memperkaya orang lain. Meskipun, semua itu murni urusan bisnis semata.
Perhitungan kerugian keuangan negara bisa dicari-cari: dari tidak ada bisa diada-adakan. Artinya, kerugian keuangan negara tidak nyata, hanya Ilusi. Alias Rekayasa. Mantan Jaksa Agung Herdarman Supandji (2007-2010) mengatakan, dakwaan seperti ini masuk kategori kriminalisasi.
Beberapa kasus dakwaan tindak pidana korupsi nampaknya memenuhi unsur kriminalisasi seperti dimaksud Hendarman Supandji. Antara lain, kasus Tom Lembong, Menteri Perdagangan 2015-2016, dan Ira Puspadewi, Dirut PT ASDP 2019-2022. Keduanya, tidak menerima suap atau gratifikasi: artinya, tidak melakukan korupsi.
Tetapi didakwa melakukan tindak pidana korupsi dengan alasan merugikan keuangan negara dan memperkaya pihak lain. Keduamya, dinyatakan bersalah oleh hakim. Tetapi kemudian “dikoreksi” oleh Presiden Prabowo Subianto. Tom Lembong diberi abolisi, Ira Puspadewi diberi rehabilitasi.
Tetapi, anehnya, pihak terkait dalam kedua kasus tersebut tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Direktur dari delapan perusahaan gula rafinasi yang diberi izin impor gula kristal mentah oleh Kementerian Perdagangan divonis penjara dan uang pengganti senilai Rp515 miliar. Ini merupakan bentuk kriminalisasi secara terang benderang. Karena, abolisi menyatakan tidak ada kasus (pelanggaran hukum) dalam pemberian izin impor gula kristal mentah kepada perusahaan gula swasta.
Semua kriminalisasi ini bisa terjadi akibat perhitungan kerugian keuangan negara yang diduga penuh rekayasa, dan menjadi bagian utama dari kriminalisasi tersebut. Dalam kasus Tom Lembong, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berpendapat telah terjadi kerugian keuangan negara, terdiri dari kurang bayar pajak dan kemahalan.
Dalam hal kurang bayar pajak, majelis hakim tidak sependapat dan menolak perhitungan BPKP. Majelis hakim menyatakan, kerugian keuangan negara terkait kurang bayar pajak tidak nyata dan tidak pasti. Pendapat BPKP “kemahalan”, dilihat dari sudut pandang manapun seharusnya juga tidak dapat diterima.
Ironinya, majelis hakim yang sama menerima semua perhitungan kerugian keuangan negara versi BPKP tersebut, termasuk kurang bayar pajak, dalam menetapkan vonis kepada direksi perusahaan gula swasta.
Selain kedua kasus di atas, saya juga memperhatikan kejanggalan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi lainnya. Antara lain, kasus jasa pemurnian emas di Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM), PT Antam Tbk. Dalam kasus ini juga tidak ditemukan ada suap atau gratifikasi. Tetapi, jaksa berpendapat, jasa pemurnian emas yang dilakukan UBPP LM PT Antam merupakan perbuatan melawan hukum dan memperkaya pihak lain. Padahal, jasa pemurnian emas, dari emas bekas perhiasan atau industri, merupakan bisnis sah dan normal yang berlaku di seluruh dunia.
Dalam menghitung kerugian keuangan negara, BPKP menetapkan bahwa bisnis jasa pemurnian emas di PT Antam dianggap tidak sah, tetapi harus diperlakukan sebagai transaksi jual-beli, sehingga terjadi kerugian keuangan negara sebesar selisih dari transaksi jual-beli tersebut dengan biaya jasa pemurnian emas.
BPKP secara terang-terangan mengabaikan perjanjian jasa pemurnian emas antara UBPP Logam Mulia PT Antam dengan pihak ketiga, dan karena itu telah bertindak melampaui wewenangnya. Ironinya, semua pihak yang terlibat, pejabat UBPP Logam Mulia PT Antam dan tujuh perusahaan swasta dinyatakan bersalah dan dihukum penjara. Tragis.
Selain itu, terdapat dua kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sangat _high profile_ mulai masuk persidangan. Kasus Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan 2019-2024, dan kasus Muhamad Kerry Adrianto Riza, pengusaha perusahaan tanker dan pnyimpanan BBM.
Nadiem dituduh merugikan keuangan negara sekitar Rp2,18 triliun dalam pengadaan Chromebook pada tahun anggaran 2020-2022, terdiri dari program digitalisasi pendidikan (pembelian laptop Chromebook) sebesar Rp1,56 triliun, dan pengadaan CDM (Chrome Device Management) sebesar Rp621,39 miliar. Kerugian pengadaan CDM dapat terjadi karena jaksa berpendapat software tersebut tidak dibutuhkan oleh pendidikan di Indonesia. BPKP kemudian menghitung kerugian keuangan negara berdasarkan pendapat jaksa tersebut.
Tentu saja penegakan hukum seperti ini menimbulkan tanda tanya besar, dan patut diduga ada upaya kriminalisasi. Bagaimana mungkin Jaksa dan BPKP bisa mencampuri kebijakan kementerian pendidikan dan menyatakan bahwa software CDM tidak diperlukan bagi pendidikan, bahkan dianggap tindak pidana korupsi?
Bagaimana dengan status Bandara Kertajati, atau IKN, atau Kereta Cepat Jakarta Bandung, atau banyak pengadaan infrastruktur lainnya yang nyata-nyata tidak diperlukan dan mubazir, dan terbukti merugikan keuangan negara? Kenapa Jaksa tidak segera menangkap para penanggung jawab proyek mubazir tersebut dengan dakwaan korupsi?
Inilah ironi hukum di Indonesia, yang di dalam konstitusi dinyatakan sebagai negara hukum.
Kasus Nadiem menarik untuk menjadi perhatian publik, apakah benar Nadiem melakukan korupsi, dan apakah benar ada dugaan kriminalisasi kepada Nadiem. Karena, seperti kasus-kasus dugaan kriminalisasi lainnya, Nadiem juga tidak terbukti menerima suap atau gratifikasi. Tetapi, jaksa mengatakan Nadiem menerima uang sebesar Rp809,56 miliar.
Pernyataan Jaksa terasa aneh. Pertama, angka tersebut terlalu besar bila dikaitkan dengan nilai korupsi yang disangkakan sebesar Rp1,56 triliun atau Rp2,18 triliun. Kedua, Nadiem telah membantah, dan mengatakan bahwa transaksi ini terkait aksi korporasi PT Go-jek Indonesia.
Selanjutnya kasus Muhamad Kerry Adrianto Riza yang awalnya digembar-gemborkan merugikan keuangan negara sebesar Rp189 triliun per tahun, selama 5 tahun, 2018-2023. Sebuah angka bombastis. Kerry dituduh antara lain terlibat dalam BBM oplosan. Tuduhan yang membuat masyarakat marah, dan membuat Pertamina rugi besar karena konsumen beralih ke BBM Non-Pertamina.
Ternyata, dari sidang pembacaan dakwaan, Jaksa hanya menuduh Kerry melakukan tindak pidana korupsi terkait penyewaan tiga kapal tanker dan penyewaan terminal bahan bakar minyak. Kerry dituduh telah diperkaya sebesar 9,86 juta dolar AS dan Rp1,07 miliar untuk penyewaan tiga kapal tanker dan Rp2,9 triliun untuk penyewaan terminal bahan bakar. Nilai dugaan tindak pidana korupsi ini ternyata tidak seheboh seperti dipublikasi awal yang berjumlah hingga ‘kuadriliun’.
Di dalam dakwaan memang diungkap ada kerugian perekonomian negara sebesar Rp172 triliun, dari “Tata Kelola Minyak Mentah Dan Produk Kilang Pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding Dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKS) pada periode 2018-2023.
Tetapi, apa hubungannya kerugian perekonomian negara tersebut dengan Kerry yang menyewakan tiga kapal tanker dan terminal bahan bakar?
Seperti pada kasus jasa pemurnian emas, jangan sampai pengusaha menjadi korban kriminalisasi dalam menjalankan bisnis dengan BUMN.
Bahkan dalam kasus Kerry yang baru berusia 39 tahun, pemberitaan nilai korupsi yang bombastis yang tidak sesuai fakta dapat masuk kategori “pembunuhan karakter”.
Nadiem dan Kerry mungkin tidak populer di mata masyarakat Indonesia. Tetapi, kebenaran harus ditegakkan tanpa tebang pilih. 

