Arogansi Bupati Sudewo dan Perlawanan Air Mineral

Image 3
Seorang polisi melindungi Bupati Pati Sudewo dari lemparan pengunjuk rasa dalam aksi Rabu, 13 Agustus 2025.

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

SEJAK awal Agustus, udara Pati tak hanya panas oleh musim kemarau yang memang segera lewat. Pati panas oleh bara kemarahan warganya. Di sana sedang berlangsung babak baru: pertarungan klasik antara arogansi pejabat dan harga diri rakyat yang diusik. Dan kali ini, rakyat Pati menunjukkan bahwa mereka tak sekadar jadi penonton di tribun. Rakyat adalah pemain utama di lapangan.

Semua bermula dari keputusan Bupati Pati, Sudewo, menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250%. Sebuah kebijakan yang sama sekali tak bijak. Ugal-ugalan. Sewenang-wenang. Warga pun mulai protes. Eh, sang bupati bukannya mendinginkan suasana, malah menantang:

"Ayo demo kalau berani! Jangankan cuma 5.000, 50.000 orang pun saya tak gentar. Keputusan menaikkan PBB sudah final. Ini untuk kepentingan pembangunan di Pati," ujarnya. Pongah!

Kalimat ini mungkin terdengar keren di telinga pejabat yang lupa diri. Tapi bagi rakyat, tantangan itu terdengar seperti tamparan sekaligus pelecehan. Sudewo lupa, kadang tamparan bisa membangunkan singa yang tidur.

Langganan Kontroversi

Sudewo bukan orang baru di panggung politik. Dua periode dia duduk di DPR RI. Namanya pernah terseret pusaran dugaan suap proyek perkeretaapian. KPK bahkan menyita miliaran rupiah dari tangannya.

Saat penyerahan akta Koperasi Merah Putih di wilayahnya, dia juga sempat bikin heboh: mengundang pedangdut Trio Macan bergoyang seronok di Pendopo Kabupaten. Karena dianggap tak elok, sampai Mendagri harus memberi teguran.

Sebagai bupati, sepertinya Sudewo ketagihan bikin kontroversi. Dia mengulang pola lama: putuskan kebijakan nyeleneh, arogan menantang rakyat yang marah. Lalu klarifikasi, dengan setengah hati.

Dan inilah yang membedakan Pati kali ini. Warga tak hanya mengeluh di media sosial. Mereka bangkit. Menggalang posko, mengumpulkan logistik. Ribuan dus air mineral, makanan, dan perlengkapan aksi memenuhi Alun-alun Pati. Lautan manusia akan membanjiri jalanan, dari pelajar hingga petani, dari pedagang pasar hingga tokoh adat. Semua menuntut satu hal: Sudewo turun!

Sudewo dan Wakilnya, Chandra, diusung Partai Gerindra, NasDem, PKB, dan PSI.  Bisa jadi mesin politiknya jelas masih mengawal dari belakang. Tapi buat rakyat yang marah, semua jadi tidak berarti.

Entah apa penyebabnya, petinggi Satpol PP bikin blunder tambahan. Dia perintahkan anak buahnya menyita ratusan dus air mineral dari posko rakyat. Bukan senjata, bukan bom molotov. Tapi air mineral. Aksi ini justru menyulut amarah publik. Air galon yang tadinya hanya logistik, kini berubah menjadi simbol perlawanan.

Melihat tekanan publik yang menguat, Sudewo akhirnya menyerah. Dia batalkan kenaikan PBB 250%. Juga meminta maaf. Tapi ini bukan akhir cerita. Rakyat sudah kadung marah. Mereka sadar, yang dilawan bukan cuma tarif pajak. Yang dilawan adalah arogansi kekuasaan.

Maka, besok, 13 Agustus 2025 rakyat unjuk kekuatan. Diperkirakan puluhan ribu bahkan hingga 100 ribu orang bakal turun ke jalan. Tuntutan mereka melebar: bupati mundur, menolak lima hari sekolah, memprotes proyek-proyek boros, hingga membela warisan sejarah kota.

Dari Pati Menggelinding ke Indonesia?

Inilah momen ketika rakyat menunjukkan siapa pemilik sejati kedaulatan negeri. Jabatan hanyalah mandat. Dan mandat bisa dicabut kapan saja, jika disalahgunakan. Sudewo sudah menyalahgunakan mandat dari rakyat!

Pati hari ini bisa jadi inspirasi bagi daerah lain. Bahkan bukan mustahil menggelinding jadi skala nasional. Bahwa ketika rakyat bersatu, pejabat yang paling pongah pun bisa dibuat babak belur. Bahwa kekuasaan yang arogan tak akan pernah menang melawan solidaritas rakyat.

Sejarah membuktikan, ini terjadi di berbagai belahan bumi. Dari masa ke masa. Di Indonesia, ada contoh Orde Baru yang tumbang oleh lembaga rakyat yang bersatu. Rezim-rezim di Timur Tengah runtuh karena gelombang kemarahan manusia yang tak bisa dibendung.

Di panggung politik, lidah pejabat memang tak bertulang. Hari ini menantang. Besok minta maaf. Alasannya tak bermaksud begitu. Itu cuma kesalahpahaman. Lalu pura-pura lupa. Basi!

Sudewo mungkin berpikir dirinya bisa mengatur ritme drama. Tapi dia lupa, di setiap negeri, sejatinya rakyatlah sutradaranya. Dan ketika rakyat sudah melakonkan naskahnya sendiri, tak ada kekuasaan yang bisa menghentikan babak akhir yang mereka tulis.

Jangan pernah remehkan rakyat, karena sekali mereka bergerak, air mineral pun bisa jadi tsunami. Kalau itu sampai terjadi, penguasa pongah akan hanyut tanpa sisa.

PATISUDEWO

Berita Terkait

Berita Lainnya