Oleh: Chappy Hakim, Marsekal TNI (Purn.), Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia
PERANG adalah ujian brutal dari sebuah kesiapan pertahanan keamanan negara. Bukan hanya kesiapan teknis, tetapi kesiapan berpikir, kesiapan sistem, dan kesiapan untuk bertahan di dunia yang terus berubah. Dalam konflik Iran–Israel yang mencuat pada awal 2025, dunia menyaksikan lebih dari sekadar duel rudal dan drone; dunia menyaksikan benturan dua sistem pertahanan udara yang sama-sama kompleks, namun dibangun dari pendekatan yang berbeda dan dalam rentang waktu panjang serta konsisten.
Arena perang telah berubah menjadi papan catur sebagai tempat atau ajang ”adu kecerdasan”.
Konflik itu memperlihatkan bahwa dalam era perang modern, keberhasilan bukan ditentukan oleh seberapa banyak jet tempur yang dimiliki, tetapi oleh seberapa terintegrasi dan adaptif sistem pertahanan nasional yang dibangun.
Dalam hal ini, Israel menunjukkan keberhasilannya mempertahankan wilayah dari serangan skala besar berkat sistem pertahanan udara berlapis, yang bukan hanya efektif, tetapi juga sangat terhubung dan cepat dalam merespons ancaman.
Sebaliknya, Iran menunjukkan bahwa taktik serangan asimetris berbasis teknologi dan AI telah menjadi realitas baru dalam peperangan modern. Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal dalam satu gelombang, menembus berbagai titik deteksi, dan menguji sejauh mana Israel dapat bertahan terhadap “serangan berkepadatan tinggi” yang terjadi secara serempak.
Sekali lagi, itu semua mendemonstrasikan sebuah pertunjukan diatas panggung adu cerdas yang tidak sekedar adu berani.
Bagi Indonesia, pelajaran dari konflik ini sangat penting. Negara kepulauan dengan ruang udara yang luas dan terbuka, serta posisi strategis di persimpangan jalur laut dan udara internasional, tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan udara dalam bentuk fisik—misalnya pembelian pesawat tempur generasi 4,5 atau rudal pertahanan jarak menengah. Indonesia memerlukan sistem yang utuh dan adaptif, mencakup radar pengawasan udara, sistem komando-kendali nasional, pusat data intelijen yang terintegrasi, serta sistem pertahanan siber untuk menjaga kelangsungan jaringan komunikasi dan kendali.
Untuk hal ini diperlukan kelompok kerja para ahli berbagai bidang dalam satu wadah terintegrasi dalam merancang sistem pertahanan keamanan negara yang up to date.
Di sinilah letak tantangan utama kita. Saat ini, banyak kebijakan pertahanan nasional masih terjebak dalam paradigma hardware-centric, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada pengadaan alutsista tanpa memperhatikan ekosistem teknologi yang menopangnya.
Banyak pesawat canggih dibeli tanpa diiringi dengan penguatan sistem logistik, pelatihan awak tempur secara kontinyu, ataupun peningkatan kapasitas industri dalam negeri untuk melakukan maintenance, repair, dan upgrade secara mandiri.
Bila kita bandingkan, Israel tidak hanya memiliki F-35 dan Iron Dome. Mereka juga memiliki sistem manajemen pertempuran berbasis real-time yang mengintegrasikan data dari satelit, radar, drone, hingga unit tempur di darat. Iran, dengan segala keterbatasannya akibat embargo internasional, justru berhasil membangun ekosistem drone dan rudal yang murah namun efektif, dikendalikan melalui pusat komando yang terhubung ke jaringan milisi regional dan pengintai siber.
Dua pendekatan yang sangat berbeda, namun sama-sama berangkat dari logika sistem yang terstruktur, terbangun dari kesadaran bersama dalam wadah pemahaman patriotisme dan pengabdian total.
Indonesia harus memulai pembangunan pertahanan udara dari pondasi terpentingnya, yaitu identifikasi ruang udara nasional secara strategis. Kita perlu memetakan ulang wilayah-wilayah kritis, seperti Selat Malaka, ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), kawasan timur Natuna, serta titik-titik sibuk penerbangan sipil dan militer.
Dalam konteks ini, perjanjian RI–Singapura 2022 yang menyerahkan pengelolaan sebagian FIR (Flight Information Region) kepada negara lain selama 25 tahun adalah bentuk kemunduran strategis.
Negara yang tidak berdaulat penuh di udaranya, tidak akan pernah bisa membangun sistem pertahanan udara yang utuh, terintregasi dan berada dalam komando pengendalian terpadu.
Kita juga harus mulai meninggalkan cara pandang lama yang memisahkan militer dan sipil secara sektoral. Sistem pertahanan udara modern selalu melibatkan unsur sipil seperti ATC (Air Traffic Control), satelit sipil, serta jaringan komunikasi dan AI yang dikembangkan oleh BUMN maupun swasta.
Semua elemen ini harus dirajut dalam satu sistem besar pertahanan nasional berbasis jaringan—network-centric warfare—yang menjamin pertukaran informasi secara cepat dan akurat di antara seluruh simpul kekuatan nasional. Sebuah total defense system yang berlandas pada kajian akademik multi disiplin.
Sebagai negara demokratis, Indonesia juga harus belajar dari konflik Iran–Israel bahwa penguatan sistem pertahanan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politik nasional. Kedaulatan udara, anggaran pertahanan, dan penguasaan teknologi adalah keputusan politik, bukan sekadar urusan teknis militer.
Dibutuhkan keberanian dan konsistensi dari elite nasional untuk keluar dari ketergantungan pada sistem luar negeri dan memulai investasi jangka panjang dalam bidang pertahanan berbasis inovasi dalam negeri menuju kemandirian secara bertahap.
Langkah konkret pertama yang dapat dilakukan adalah menyusun roadmap pertahanan udara nasional, yang mengintegrasikan kekuatan Angkatan Udara, radar sipil, lembaga riset, dan industri pertahanan. Roadmap ini harus bersifat holistik, melibatkan sektor teknologi informasi, komunikasi satelit, sistem navigasi nasional, dan sumber daya manusia dari sekolah hingga akademi militer.
Ke depan, pusat keunggulan (center of excellence) di bidang kedirgantaraan dan pertahanan udara perlu dikembangkan di kampus-kampus strategis sebagai pabrik gagasan, bukan hanya sebagai tempat pelatihan teknis belaka.
Perang Iran–Israel, meskipun terjadi jauh dari Nusantara, telah memberi kita cermin: dunia berubah, peperangan berubah, dan hanya negara yang membangun sistem—bukan hanya alat—yang mampu bertahan dalam pusaran perubahan zaman.
Indonesia tidak kekurangan orang cerdas, tetapi sering kekurangan sistem yang memberi ruang pada kecerdasan itu untuk bekerja bersama-sama. Maka, yang kita perlukan hari ini bukan hanya pesawat baru, tetapi cara berpikir baru. Kedaulatan udara bukanlah mitos. Ia adalah tujuan yang dapat diraih—bila kita bersedia bekerja keras, membangun dari dasar, dan berhenti mengandalkan jalan pintas, tidak ada yang tidak mungkin. Bersatulah bangsaku membangun negeri tercinta, mengabdi pada Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. Nenek Moyangku Orang Pelaut, Anak Cucuku Insan Dirgantara.
Daftar Referensi
- Cordesman, Anthony H. (2024). Iran’s Missile and Drone Forces: Strategic Capabilities and Implications. Center for Strategic and International Studies.
- International Institute for Strategic Studies (IISS). (2024). The Military Balance 2024.
- Aloni, Shlomo. (2021). Israeli Air Power: Strength in Layers. Tel Aviv: Defense Studies Press.
- Defense News. (2025). “Israel’s Multi Layer Air Defense and Iran’s Drone Swarm: What We Learned.” (Online)
- The Jerusalem Post. (2025). “How Iron Dome and Arrow Intercepted Hundreds of Iranian Missiles.”
- SIPRI Yearbook. (2023). Armaments, Disarmament and International Security.
- Boeing Company. (2023). Integrated Air Defense Solutions – White Paper.
- Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI). (2023). Urgensi Sistem Pertahanan Udara Terintegrasi di Wilayah Kritis NKRI.
- Tempo.co & Kompas.com. (2022–2025). Laporan terkait perjanjian FIR RI–Singapura dan kedaulatan udara nasional.
- Hakim, Chappy. (2019). Tanah Air dan Udara Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Hakim, Chappy. (2021). Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. PBK Penerbit Buku Kompas.