Oleh: Agusto Sulistio, Pegiat Sosmed.
APAKAH sebuah pulau bisa berpindah tempat hanya karena garis di atas peta digeser? Di meja birokrasi jawabannya sering “ya,” tetapi bagi masyarakat di lapangan jawabannya selalu “tidak.” Polemik di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah semakin riuh setelah Kepmendagri Nomor 300.2.2‑2138/2025 memutuskan Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil masuk Sumatera Utara.
Pemerintah pusat bersandar pada rapat teknokratis. Aceh menggenggam arsip tua yang diwarnai tanda tangan dan saksi. Kita dihadapkan pada dua pilihan, patuh pada peta mutakhir atau hormat pada arsip yang lebih dahulu lahir.
Menteri Dalam Negeri Jenderal Pol (Purn), Prof. Tito Karnavian bersikap seolah semua jalan sudah ditempuh. Proses panjang, delapan instansi, tarik garis dari batas darat, titik. Lantas ia menambahkan imbauan siapa pun yang keberatan silakan menggugat ke PTUN. Pernyataan itu terdengar demokratis, namun justru berpotensi membuka kotak Pandora baru.
Ketika perkanjian lama sudah terang, mendorong pihak bertikai ke pengadilan tata usaha berarti memulai ulang sengketa, memperpanjang deretan gugatan, sekalihus memberi kesan bahwa pemerintah ragu pada arsipnya sendiri. Bukankah lebih arif mengembalikan perkara ini ke meja perjanjian 1992 dan payung hukum yang lebih tua—UU 11/2006 dan putusan MA 2013, ketimbang menumpuk sengketa baru di PTUN? So what, ada apa dengan Prof. Tito.
Tiga dekade lalu, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar meneken kesepakatan yang tegas, bahwa ke-empat pulau milik Aceh dan Sumut tak boleh menerbitkan izin; Aceh berwenang atas sumber daya, final dan mengikat. Dokumen ini tak pernah dicabut, malah diperkuar oleh UU dan amar Mahkamah Agung.
Itu sebabnya, mendorong perkara ke PTUN terkesan seperti meminta hakim menimbang ulang sesuatu yang sudah “inkracht”. Hasilnya adalah ketidakpastian berkepanjangan dan potensi gaduh dalam pemerintahan Prabowo yang justru membutuhkan stabilitas.
Mengapa peta baru lahir? Narasi klasik, potensi ekonomi laut, investasi, politik simbolik memperluas pengaruh. Tapi alasan ekonomi tak bisa menghapus jejak janji. “Bobby bawa peta, lupa baca arsip,” sindir sebagian tokoh Aceh dan sindiran itu ada benarnya. Peta bisa berubah, tetapi akta kesepakatan seharusnya tetap menjadi fondasi.
Negara mestinya menunjukkan contoh, menghargai perjanjian yang ditandatangani pejabat tinggi di masa lalu. Jika Mendagri ingin meredam bara, ia cukup mengatakan, “kita kembali ke arsip 1992, UU 11/2006, dan putusan MA. Pemerintah pusat akan memfasilitasi pemulihan batas sesuai kesepakatan lama sambil mencarikan format kerja sama teknis lintas provinsi.” Selesai.
Tak perlu menggiring semua pihak ke pengadilan yang hanya akan memanjangkan daftar sengketa birokrasi dan membuat ruang publik gaduh.
Empat pulau ini memang kecil, tetapi pelajarannya besar. Negara besar tidak malu meralat keputusan yang bertabrakan dengan janji lama. Kepemimpinan yang kuat justru terlihat ketika ia berani berkata, “Kami salah membaca arsip, mari kita perbaiki.”
Dengan begitu, Prabowo tak perlu sibuk memadamkan api yang seharusnya tidak dinyalakan. Pulau-pulau itu jauh di tepi Nusantara, tetapi ingatan warga tentang siapa yang pernah menepati janji akan tetap tinggal di sana.