Dunia Siber: Sebuah Peringatan untuk Bangsa

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Chappy Hakim, Marsekal TNI (Purn.), Ketum Pusat Studi Air Power Indonesia

DALAM kehidupan modern yang kita jalani hari ini, segala sesuatu seolah berada di ujung jari. Mulai dari memesan makanan, membeli barang kebutuhan, membayar tagihan, bahkan menyekolahkan anak—semuanya bisa dilakukan hanya dengan satu perangkat: gawai yang terkoneksi ke internet.

Namun, di balik semua kemudahan itu, ada sebuah dunia tak kasatmata yang terus mengintai. Dunia itu disebut dunia siber—cyber world—yang kini bukan lagi sekadar pelengkap kehidupan, melainkan telah menjadi urat nadi peradaban manusia.

Sayangnya, meski kita semua hidup di dalamnya, sangat sedikit yang benar-benar menyadari bahaya yang mengintai dari dunia siber ini.

Kelas Menengah dan Elite: Tahu, Tapi Tak Peduli

Banyak kalangan menengah ke atas di negeri ini yang sesungguhnya telah cukup akrab dengan dunia siber. Mereka menggunakan teknologi terkini, mengoperasikan aplikasi digital, bahkan memiliki pemahaman dasar tentang keamanan data pribadi.

Tapi sayangnya, pemahaman itu tidak selalu diiringi dengan kepedulian. Mereka tahu bahayanya phishing, malware, pencurian data, hingga serangan siber antarnegara, tetapi sering kali menganggapnya sebagai sesuatu yang “jauh dari kehidupan mereka”.

Ironisnya, mereka justru yang paling rentan karena aktivitas finansial mereka sangat terhubung dengan dunia digital—mobile banking, dompet digital, hingga investasi online.

Kalangan Akar Rumput: Tidak Tahu, Apalagi Peduli

Sementara itu, masyarakat di tingkat akar rumput atau kalangan bawah justru berada di sisi ekstrem yang lain. Mereka nyaris tidak tahu apa itu dunia siber. Bagi mereka, internet hanyalah alat untuk hiburan atau komunikasi, tanpa pemahaman tentang potensi ancaman yang menyertainya.

Konsep seperti perlindungan data pribadi, pengawasan digital, atau bahkan manipulasi algoritma media sosial adalah istilah asing yang tidak masuk ke dalam radar kesadaran mereka. Di sinilah letak tantangan besar bangsa kita: kesenjangan literasi digital yang nyaris menciptakan dua dunia yang berbeda di satu bangsa.

Sosialisasi: Bukan Sekadar Kampanye, Tapi Revolusi Budaya

Lalu, bagaimana cara menyadarkan masyarakat akan bahaya dunia siber? Jawabannya tidak bisa semata lewat seminar atau iklan layanan masyarakat. Perlu ada gerakan nasional yang sistematis, masif, dan berkelanjutan—yang dimulai dari sekolah, masjid, gereja, balai desa, hingga kantor-kantor pelayanan publik. Literasi digital harus menjadi mata pelajaran wajib di sekolah. Sosialisasi tentang keamanan siber harus menggunakan bahasa yang sederhana dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Misalnya, sampaikan dengan ilustrasi yang dekat dengan mereka: “Bayangkan kalau satelit komunikasi dimatikan oleh negara pemiliknya, maka ponsel kita akan menjadi benda mati—tak bisa dipakai telepon, tak bisa kirim pesan.” 

Atau: “Jika internet atau WiFi mati, maka berhenti pula sistem perbankan, transportasi, perdagangan online, bahkan pengiriman bantuan logistik saat bencana.” Penjelasan yang membumi ini jauh lebih efektif dibandingkan penjelasan teknis yang rumit.

Dunia Siber: Kemudahan dan Ancaman dalam Satu Genggaman

Tidak bisa disangkal bahwa dunia siber membawa manfaat besar. Teknologi kecerdasan buatan (AI), sistem otonom (autonomous systems), penggunaan drone, dan jaringan satelit komunikasi telah merevolusi kehidupan manusia. Bahkan di bidang pertahanan dan keamanan, semua instrumen ini kini menjadi bagian dari sistem komando dan kendali militer yang vital.

Namun justru karena sifatnya yang serba canggih, dunia siber juga menjadi senjata yang sangat berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Satelit komunikasi (Satkom), misalnya, saat ini hanya dimiliki oleh beberapa negara besar saja. Jika mereka menyalahgunakannya—entah dengan memutus akses atau menyusupi data—maka negara seperti Indonesia yang sangat tergantung pada layanan tersebut akan lumpuh. Tak heran jika hari ini banyak analis menyebut bahwa “the next world war will be won not by bullets, but by bytes.”

Bahaya Nyata: Dari Mobile Banking hingga Manipulasi Demokrasi

Dalam keseharian, bahaya dunia siber bisa datang dalam wujud yang sangat personal. Contoh paling sederhana: mobile banking dan kartu kredit. Jika data Anda bocor, bukan hanya uang yang hilang, tapi juga identitas Anda bisa dipakai untuk kejahatan. 

Lebih jauh lagi, dunia siber juga bisa dipakai untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan hoaks, bahkan memengaruhi hasil pemilu. Ini bukan fiksi ilmiah. Ini adalah kenyataan yang sudah terjadi di banyak negara.  Termasuk di Indonesia.

Penutup: Kedaulatan Siber dan Ketahanan Satelit

Hari ini, berbicara tentang kedaulatan negara bukan hanya tentang menjaga perbatasan di darat, laut, dan udara. Kita juga harus menjaga kedaulatan di dunia maya. Dunia siber tidak mengenal batas wilayah, tetapi sangat memengaruhi kehidupan berbangsa. Jika kita tidak membangkitkan kesadaran kolektif—baik di kalangan elite maupun rakyat jelata—maka kita bukan hanya akan tertinggal, tapi juga akan menjadi korban dari peperangan tanpa suara ini.

Sekali lagi, ancaman siber bukan untuk ditakuti, tapi untuk diwaspadai. Dengan pemahaman yang benar, kepedulian yang tinggi, dan sistem pertahanan yang kuat, kita bisa menjadikan dunia maya sebagai alat kemajuan—bukan kehancuran.

Saran dan Rekomendasi

Agar Indonesia tidak terus bergantung pada infrastruktur satelit komunikasi milik negara lain yang berpotensi menjadi alat kontrol dan intervensi, maka perlu langkah-langkah konkret sebagai berikut:

1. Bangun dan Operasikan Satelit Sendiri Secara Mandiri

Pemerintah harus mempercepat pembangunan dan peluncuran satelit komunikasi nasional secara independen, tidak bergantung pada negara produsen. Tidak cukup hanya “memiliki” satelit, tetapi harus ada ground control, teknologi enkripsi mandiri, dan pengelolaan sepenuhnya oleh SDM dalam negeri.

2. Kembangkan Pusat Siber Nasional yang Terintegrasi

Perlu dibentuk National Cyber Defense Center yang menyatukan kekuatan BSSN, TNI, POLRI, Lemsaneg, dan komunitas teknologi nasional, untuk melakukan proteksi, deteksi dini, dan respon cepat terhadap ancaman siber—baik sipil maupun militer.

3. Investasi Jangka Panjang dalam SDM Digital

Kedaulatan digital hanya bisa dibangun dengan SDM unggul. Perlu program beasiswa, pelatihan vokasi, dan pengembangan teknologi dalam negeri agar generasi muda mampu bersaing dan menjaga infrastruktur kritis negara dari tangan asing.

4. Regulasi Perlindungan Infrastruktur Siber

DPR bersama pemerintah perlu mengesahkan undang-undang yang mengatur pengamanan infrastruktur siber nasional sebagai objek vital negara, termasuk di dalamnya sistem perbankan, sistem lalu lintas udara, pertahanan, dan jaringan komunikasi nasional.

5. Kampanye Nasional “Indonesia Berdaulat Digital”

Masyarakat luas perlu dibangunkan kesadarannya dengan kampanye publik nasional. Seperti dulu kita galakkan “Aku Cinta Rupiah” atau “Bangga Buatan Indonesia”, kini saatnya kita canangkan gerakan “Berdaulat di Dunia Siber”.

 
Referensi:
1. Clarke, R. A., & Knake, R. K. (2010). Cyber War: The Next Threat to National Security and What to Do About It. HarperCollins.
2. Singer, P. W., & Friedman, A. (2014). Cybersecurity and Cyberwar: What Everyone Needs to Know. Oxford University Press.
3. BSSN. (2023). Laporan Tahunan Keamanan Siber Nasional Republik Indonesia.
4. Kominfo RI. (2024). Strategi Nasional Keamanan Siber 2020–2024.
5. World Economic Forum. (2023). Global Cybersecurity Outlook 2023.

CHAPPY HAKIM

Berita Terkait

Berita Lainnya