Raja Ampat dan Krisis Moral Oligarki Warisan Jokowi

Image 3
Foto: Greenpeace

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

KASUS tambang nikel di Raja Ampat adalah skandal. Ia kembali membuka borok kronis dari sistem oligarki yang dibangun dan diwariskan selama sepuluh tahun kekuasaan Jokowi.

Kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, tak ada kerusakan lingkungan yang serius. Namun kota tahu, loyalis Jokowi tersebut beerbohong. Data resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap terjadi sedimentasi, pencemaran air, dan ancaman keanekaragaman hayati di Geopark dunia itu.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, juga menegaskan hal sama. Lewat akun media sosialnya (Twitter/X, 3 Juni 2025), dia menulis: “Wilayah Raja Ampat sangat rapuh. Aktivitas tambang dapat mengganggu sistem laut, terumbu karang, dan biota langka yang hidup di sana.”

Ini bukan sekadar beda sudut pandang antarkementerian. Ini cermin dari kerusakan moral penguasa yang menempatkan laba di atas kelestarian dan kehidupan rakyat.

Dalam sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan pola sistematis yang mengerikan. Pertumbuhan ekonomi dijadikan mantra pembangunan bangsa atas nama investasi. Sementara tanah, laut, dan kehidupan warga dijadikan tumbal.

Dari proyek Rempang yang menggusur warga demi investasi kaca Cina (Xinyi Group/RRC), hingga Morowali yang berubah jadi kamp industri nikel dengan kerusakan ekologis akut. Semua dibungkus narasi pembangunan. Tapi yang panen keuntungan adalah korporasi rakus dan segelintir elite politik.

Bahlil adalah simbol dari kebijakan pembangunan yang ugal-ugalan itu. Dia pernah dengan enteng menyuruh warga Rempang hengkang demi proyek asing. “Kalau tidak mau, berarti tidak cinta negara,” begitu ancamannya. Setelah pernyataannya itu aparat keamanan bertindak represif dan menabrak HAM penduduk setempat. Ini bukan pembangunan. Ini penjajahan dalam kemasan modern, berbalut investasi.

Pion Penting Jokowi

Jokowi memang telah resmi lengser dari kursi presiden. Namun cengkeramannya atas kekuasaan belum lepas benar. Lebih dari enam bulan pasca-pelantikan Prabowo Subianto, cawe-cawenya terus saja merecoki pemerintah baru. Tak berlebihan jika publik curiga, bahwa Bahlil bukan sekadar menteri. Dia pion yang disiapkan untuk mengamankan proyek-proyek oligarki dari era Jokowi.

Raja Ampat adalah ajang uji nyali. Apakah pemerintahan baru benar-benar berani lepas dari warisan Jokowi dan oligarki? Apakah Prabowo bersedia menggusur barisan pengaman yang dibentuk Jokowi demi kepentingan ekonomi mereka?

Kita patut mengapresiasi langkah Prabowo yang mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat. Namun satu IUP yang masih bertahan—yakni milik PT GAG Nikel (anak usaha PT Aneka Tambang), menyisakan persoalan. Pemerintah berdalih lokasi tambang di Pulau Gag tidak berada di kawasan inti Geopark. Tapi para ahli lingkungan memperingatkan, alam tidak mengenal batas administratif. Dampak ekologis bisa menjalar melalui udara, air, dan rantai kehidupan.

KLHK sendiri dalam laporan awal 2024 menyatakan, adanya penurunan kualitas air laut dan gangguan biota laut di sekitar zona pertambangan. Kajian WALHI Papua Barat bahkan menyebut risiko hilangnya situs pemijahan ikan dan gangguan pada kawasan mangrove.

Kinilah saatnya bangsa ini mengambil sikap tegas. Kedaulatan rakyat atas sumber daya alam harus dikembalikan. Ini amanat konstitusi. Pemerintah perlu membentuk panel independen yang melibatkan para ahli lingkungan, perwakilan masyarakat adat, akademisi, dan LSM. Lakukan audit menyeluruh atas semua aktivitas tambang di Raja Ampat. Baik yang sudah aktif, nonaktif, belum aktif, maupun yang “dijanjikan akan aman”.

Pemerintahan Prabowo harus menghentikan praktik menjadikan bumi pertiwi sebagai mainan para konglomerat rakus. Mereka boleh punya uang. Tapi rakyat punya sejarah, tanah, dan hak untuk hidup layak. Bila suara rakyat tetap diredam, jika kita semua terus diam, maka bukan hanya Raja Ampat yang akan hilang. Tapi masa depan anak-cucu kita juga akan ikut tenggelam.