Rumah Tapak, Pajak, dan Rakyat: Mengkritisi Solusi yang Memukul Mimpi Kelas Menengah

Image 3
Ilustrasi

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta

APAKAH rumah tapak hanya boleh dimiliki oleh orang kaya?

Pertanyaan ini mengemuka menyusul wacana yang disampaikan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, yang mengusulkan kenaikan pajak bagi rumah tapak sebagai strategi untuk mendorong masyarakat tinggal di rumah susun atau rusun.

Ia menyebut kebijakan ini perlu demi efisiensi ruang kota dan urbanisasi yang berkelanjutan.

Tapi apakah keadilan bisa dibangun dengan cara menekan hak hidup rakyat kecil atas ruang tempat tinggal?

Apakah efisiensi ruang boleh menyingkirkan mereka yang selama ini tinggal di pinggiran kota, menabung dengan susah payah untuk membeli rumah tapak sederhana, dan menjadikannya satu-satunya harta yang diwariskan bagi anak-anak mereka?

Dalam debat soal ruang kota, infrastruktur, dan tata guna lahan, suara kelas bawah kerap terpinggirkan.

Usulan menaikkan pajak rumah tapak ini tidak hanya menyentuh aspek teknokratis, tetapi menyentuh secara langsung jantung persoalan sosial: siapa yang berhak atas kota, siapa yang berhak atas rumah?

Rumah Tapak Sebagai Ruang Kehidupan, Bukan Sekadar Bangunan

Di Indonesia, rumah tapak bukan hanya struktur fisik dari batu bata, atap, dan dinding.

Ia adalah bagian dari ruang hidup yang melekat erat dengan praktik ekonomi dan budaya masyarakat.

Di sana, seorang ibu bisa membuka warung kecil di depan rumah, seorang tukang bisa membangun bengkel sederhana di garasi, dan anak-anak bisa bermain di halaman tanpa harus antre lift atau dibatasi pagar rusun.

Kita sering membayangkan rusun sebagai solusi urban modern, tempat tinggal vertikal yang bersih, aman, dan efisien.

Tapi bagi kebanyakan masyarakat menengah-bawah, tinggal di rusun yang sempit, jauh dari tempat kerja, tanpa ruang sosial yang memadai, bukanlah impian—melainkan keterpaksaan.

Perpindahan ke rumah susun bukan pilihan rasional jika kualitas rusun belum memenuhi standar kehidupan layak.

Usulan menaikkan pajak rumah tapak berangkat dari asumsi bahwa masyarakat memilih rumah tapak karena tidak efisien.

Padahal, mayoritas masyarakat memilih rumah tapak karena rusun yang ditawarkan negara tidak memadai.

Bukan mereka menolak rumah susun—mereka hanya belum melihat rumah susun sebagai tempat tinggal yang bermartabat.

Solusi yang Salah: Ketika Pajak Dijadikan Alat Paksa

Bayangkan seseorang hanya mampu membeli sepeda motor untuk bekerja karena ia belum cukup mampu membeli mobil.

Lalu pemerintah menaikkan pajak motor dengan alasan semua orang harus naik mobil listrik demi lingkungan.

Padahal, harga mobil listrik mahal, pengisi dayanya tidak tersedia, dan jalan masih macet.

Inilah analogi dari kebijakan yang ingin mendorong masyarakat ke rusun dengan cara menaikkan pajak rumah tapak.

Tambahan Pajak khusus rumah tapak harus kita tolak!

Seolah-olah masyarakat tinggal di rumah tapak karena pilihan gaya hidup, bukan karena keterbatasan akses dan ekonomi.

Kebijakan berbasis paksaan, apalagi lewat instrumen fiskal seperti pajak, hanya akan memperparah ketimpangan.

Ia menyasar yang paling rentan: keluarga muda yang sedang berjuang membeli rumah pertama, pensiunan yang tinggal di rumah warisan, dan buruh informal yang mengandalkan rumah sebagai tempat usaha kecil-kecilan.

Alih-alih menyelesaikan masalah backlog perumahan, kebijakan ini bisa memperluasnya.

Semakin banyak rakyat yang tidak sanggup lagi membeli rumah tapak, sementara rusun belum tersedia secara masif dan layak, maka semakin banyak pula yang terpaksa tinggal di kontrakan sempit, permukiman ilegal, atau hunian tidak permanen.

Keadilan Sosial Bukan Dilahirkan dari Tarif, Tapi dari Kepedulian

Jika negara ingin menghadirkan keadilan sosial dalam kebijakan perumahan, maka instrumennya bukan hukuman, tapi empati dan keberpihakan.

Pajak seharusnya digunakan untuk mengoreksi ketimpangan, bukan memperparahnya.

Yang harus dikenakan beban lebih adalah mereka yang memiliki banyak rumah untuk disewakan, properti menganggur yang dibiarkan kosong sebagai instrumen spekulasi, atau rumah mewah yang dijadikan portofolio investasi.

Mereka inilah yang menyumbang pada inflasi harga tanah dan kelangkaan hunian di kota besar.

Sebaliknya, keluarga yang berjuang membeli rumah pertama, meski kecil dan jauh dari pusat kota, harus dilindungi dan diberi ruang tumbuh.

Di banyak negara maju, rumah pertama justru diberi subsidi dan insentif, bukan dihukum dengan tarif lebih tinggi.

Dampak Ekonomi yang Lebih Luas: Mematikan Rantai Produktif

Sektor perumahan tidak berdiri sendiri. Ia terhubung dengan lebih dari seratus sektor lainnya—bahan bangunan, jasa konstruksi, furnitur, transportasi, hingga jasa keuangan.

Ketika permintaan rumah tapak menurun karena pajak dinaikkan, maka penurunan itu akan berdampak luas ke sektor riil dan lapangan kerja.

Di sisi lain, memperlambat pembangunan rumah tapak juga bisa memperkecil kontribusi sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam kondisi di mana Indonesia masih membutuhkan stimulus dari sisi konsumsi dan investasi, kebijakan yang menyempitkan akses rakyat terhadap rumah justru bisa menjadi kontraproduktif.

Jika negara ingin membangun rumah susun, bangunlah dengan skema yang kuat dan terencana. Tapi jangan menghancurkan pasar rumah tapak sebagai “imbalan”.

Solusi yang Adil: Insentif, Regulasi, dan Perluasan Pilihan

Negara bisa dan harus mendorong pergeseran ke hunian vertikal—tapi bukan dengan menaikkan pajak rumah tapak.

Caranya adalah dengan membangun rusun yang layak, strategis, dan terintegrasi dengan sistem transportasi.

Subsidi bunga, insentif pengembang, dan program rumah sewa-milik bisa menjadi solusi yang manusiawi.

Pemerintah bisa menggunakan tanah-tanah negara dan BUMN yang selama ini idle untuk membangun rumah vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Di banyak kota besar, negara masih punya lahan luas yang bisa dikembangkan menjadi kawasan percontohan perumahan vertikal berbasis keadilan sosial.

Yang dibutuhkan bukan tekanan, tetapi daya tarik. Bangunlah rusun yang membuat masyarakat ingin pindah karena manfaatnya, bukan karena takut dikenai pajak rumah tapak.

Rumah Adalah Hak, Bukan Sekedar Privilege

Kebijakan publik tidak boleh dibangun dari asumsi bahwa efisiensi lebih penting dari kemanusiaan.

Rumah adalah hak dasar, bukan hadiah yang diberikan hanya kepada mereka yang mampu memenuhi standar tata kota versi pemerintah.

Kita bisa mendorong efisiensi ruang, bisa membangun kota yang vertikal, bisa mendorong masyarakat tinggal lebih padat dan teratur.

Tapi kita harus melakukannya dengan cara yang adil dan manusiawi. Kita tidak bisa memperbaiki kota dengan merampas hak rakyat atas rumah yang sederhana.

Jangan kita jadikan kota sebagai taman impian bagi segelintir orang, dan sekaligus menjadi labirin tanpa pintu keluar bagi rakyat biasa. Menaikkan pajak rumah tapak adalah kebijakan yang jauh dari rasa keadilan. Ia lebih mirip upaya menyelesaikan soal dengan menghapus baris terakhir, bukan menjawabnya dengan jernih.

Jika negara benar-benar berpihak kepada rakyat, maka rumah harus dipertahankan sebagai hak semua warga—bukan hanya mereka yang bisa membayar.

Dan setiap kebijakan perumahan harus mengingat satu hal penting: di balik angka-angka statistik, selalu ada manusia, keluarga, dan harapan yang layak kita jaga.