Mata-mata Asing di Indonesia: Permainan Shadows dalam Geopolitik

Image 3
Pengamat Sosial Ekonomi dan Politik, Muhammad Bardansyah.

Oleh: Muhammad Bardansyah, Pengamat Sosial Ekonomi dan Politik

DI balik gemerlap investasi asing dan jabat tangan hangat para diplomat, ada dunia lain yang beroperasi dalam senyap: jaringan intelijen negara-negara besar yang menjadikan Indonesia sebagai panggung permainan mereka.

AS, China, Rusia, dan Australia,  masing-masing dengan caranya sendiri, telah lama menancapkan pengaruh melalui operasi rahasia, memadukan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan dalam gerakan-gerakan tak terlihat.

Amerika Serikat: Pengawal Lama dengan Agenda Baru

Sejak Perang Dingin, AS telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari strategi pengaruhnya di Asia Tenggara. CIA, dengan jaringan operasinya yang luas, pernah menjadi pendukung setia rezim Orde Baru, sekaligus memantau setiap gejolak yang bisa mengarah pada komunisme.

Hari ini, meski wajahnya lebih halus, tujuan utamanya tetap sama: memastikan Indonesia tidak sepenuhnya jatuh ke pelukan China.

Snowden, pada 2013, membongkar bagaimana National Security Agency (NSA) menyadap komunikasi pejabat tinggi Indonesia, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ini bukan sekadar soal keamanan, tapi juga upaya memahami dinamika politik dalam negeri sebelum Washington mengambil langkah diplomatik.

Di sisi lain, AS juga membangun hubungan melalui soft power. USAID dan berbagai program pertukaran pelajar menjadi alat halus untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi ala Barat.

Namun, di balik itu, ada upaya memengaruhi kebijakan Indonesia terkait isu-isu seperti pertambangan nikel, komoditas yang kini menjadi rebutan global karena perannya dalam industri baterai dan teknologi hijau.

China: Naga yang Merangkul (dan Mengawasi)

Jika AS bermain dari jarak jauh, China justru mendekat dengan pelukan erat. Investasi besar-besaran di infrastruktur, dari Kereta Cepat Jakarta-Bandung hingga smelter nikel di Sulawesi, bukan sekadar urusan bisnis.

Setiap proyek adalah pintu masuk bagi intelijen Beijing untuk memperluas pengaruh.

Ministry of State Security (MSS), badan intelijen China, diduga aktif memantau sikap Indonesia terkait Laut China Selatan, sekaligus mengawasi komunitas Uighur di tanah air.

Laporan dari kelompok siber seperti Citizen Lab menunjukkan bahwa hacker China kerap menargetkan institusi pemerintah dan perusahaan strategis Indonesia.

Yang lebih halus lagi adalah permainan politik di balik layar. Elite-elite Jakarta dikabarkan kerap diundang ke Beijing untuk pertemuan-pertemuan "bisnis" yang ujungnya adalah lobi kebijakan.

Hutang besar dari skema Belt and Road Initiative (BRI) juga menjadi senjata terselubung, jika Indonesia terlalu bergantung, Beijing bisa memainkan kartu itu di meja diplomasi.

Rusia: Berbisik di Tengah Badai

Berbeda dengan AS dan China yang terang-terangan bersaing, Rusia bermain lebih sunyi tapi tak kalah strategis.

Moskow menjual senjata ke Indonesia, Sukhoi, rudal, hingga sistem pertahanan, sambil membangun jaringan intelijennya sendiri.

FSB dan GRU, dua badan mata-mata utama Rusia, disebut memantau kelompok separatis di Papua. Bukan karena mereka peduli pada konflik tersebut, tapi untuk mencari 𝘭𝘦𝘷𝘦𝘳𝘢𝘨𝘦 jika suatu hari Kremlin butuh dukungan Jakarta di forum internasional.

Di dunia maya, jejak hacker Rusia juga kerap muncul. Serangan siber terhadap infrastruktur energi dan pemerintahan Indonesia beberapa kali dikaitkan dengan kelompok seperti 𝘍𝘢𝘯𝘤𝘺 𝘉𝘦𝘢𝘳, yang diduga berkaitan dengan GRU.

Australia: Tetangga yang Tak Pernah Bisa Dipercaya

Hubungan Indonesia-Australia ibarat dua saudara yang saling curiga. Di permukaan, mereka bermitra dalam isu keamanan dan perdagangan.

Tapi di balik itu, Canberra diam-diam mengawasi setiap gerakan Jakarta.

Skandal 2013, ketika Snowden mengungkap bahwa Australian Signals Directorate (ASD) menyadap telepon SBY dan istrinya, membuktikan bahwa Australia tidak sepenuhnya bisa dipercaya.

Operasi intelijen mereka fokus pada dua hal: imigran ilegal yang mencoba mencapai Australia melalui Indonesia, dan situasi keamanan di Papua.

Namun, di tengah ketegangan, kerja sama intelijen tetap berjalan. Australia adalah bagian dari Five Eyes, aliansi pengintaian Barat, dan sering berbagi data dengan AS tentang aktivitas China di kawasan.

Lalu, Bagaimana Indonesia Merespons?

Badan Intelijen Negara (BIN) dan intelijen militer (BAIS) terus berupaya mengimbangi permainan ini. Tapi sumber daya terbatas dan minimnya teknologi canggih membuat Indonesia seringkali berada di posisi reaktif, bukan proaktif.

Yang jelas, dalam peta geopolitik saat ini, Indonesia bukan sekadar penonton. Ia adalah medan perang rahasia dimana setiap langkah, dari kebijakan ekonomi hingga keputusan politik, bisa jadi hasil dari permainan intelijen asing yang bekerja dalam bayang-bayang.

Referensi:

  1. 𝘓𝘢𝘬𝘴𝘢𝘮𝘢𝘯𝘢, 𝘌. (2021). 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢’𝘴 𝘉𝘦𝘭𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘰𝘢𝘥 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘪𝘯 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢: 𝘉𝘦𝘵𝘸𝘦𝘦𝘯 𝘋𝘪𝘱𝘭𝘰𝘮𝘢𝘤𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘋𝘦𝘣𝘵-𝘛𝘳𝘢𝘱. 𝘐𝘚𝘌𝘈𝘚 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.
  2. 𝘙𝘦𝘴𝘴𝘢, 𝘔. (2020). 𝘏𝘰𝘸 𝘵𝘰 𝘚𝘵𝘢𝘯𝘥 𝘜𝘱 𝘵𝘰 𝘢 𝘋𝘪𝘤𝘵𝘢𝘵𝘰𝘳: 𝘛𝘩𝘦 𝘍𝘪𝘨𝘩𝘵 𝘧𝘰𝘳 𝘖𝘶𝘳 𝘍𝘶𝘵𝘶𝘳𝘦. 𝘏𝘢𝘳𝘱𝘦𝘳𝘊𝘰𝘭𝘭𝘪𝘯𝘴.
  3. 𝘚𝘯𝘰𝘸𝘥𝘦𝘯, 𝘌. (2019). 𝘗𝘦𝘳𝘮𝘢𝘯𝘦𝘯𝘵 𝘙𝘦𝘤𝘰𝘳𝘥. 𝘔𝘦𝘵𝘳𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯 𝘉𝘰𝘰𝘬𝘴.
  4. 𝘊𝘰𝘯𝘣𝘰𝘺, 𝘒. (2003). 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘭: 𝘐𝘯𝘴𝘪𝘥𝘦 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢’𝘴 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘭𝘭𝘪𝘨𝘦𝘯𝘤𝘦 𝘚𝘦𝘳𝘷𝘪𝘤𝘦. 𝘌𝘲𝘶𝘪𝘯𝘰𝘹 𝘗𝘶𝘣𝘭𝘪𝘴𝘩𝘪𝘯𝘨.
  5. 𝘓𝘰𝘸𝘺 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦. (2022). 𝘈𝘶𝘴𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘢-𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘙𝘦𝘭𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴: 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘱𝘺 𝘊𝘳𝘪𝘴𝘪𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘉𝘦𝘺𝘰𝘯𝘥. 𝘩𝘵𝘵𝘱𝘴://𝘸𝘸𝘸.𝘭𝘰𝘸𝘺𝘪𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘵𝘦.𝘰𝘳𝘨/

Berita Terkait

Berita Lainnya