Refleksi Kemiskinan dan Kaitannya dengan Vasektomi

Image 3
Ilustrasi/ Republika

Oleh: Dian Fitriani, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Cara paling efektif untuk mengatasi kemiskinan bukan memperbaiki ekonomi, sosial apalagi mental masyarakat tapi pandangan politik yang dianut negara dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah.

Realitas Kemiskinan

KEMISKINAN sebagai fakta seringkali diartikan secara dikotomis dimana dinamika kultural dianggap cenderung menciptakan kondisi “miskin” itu sendiri. Padahal ukuran fakta tidak bisa dikonversikan kecuali dengan kacamata holistik. Miskin sebagai fakta berarti miskin sebagai fenomena yang diciptakan dengan berbagai faktor, bisa saja orang dengan mental miskin akan tetap kaya karena punya warisan yang cukup menghidupinya hingga 7 turunan.

Miskin umumnya dipahami sebagai kondisi dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya terlepas dari dia malas, punya banyak anak, kurang tampan, rajin, gemar olahraga, dll.

Artinya? Kemiskinan sebagai fakta harus kita terima bahwa dia memang tidak memiliki cukup sumber daya untuk mencapai kesejahteraan atau setidaknya memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Jika ternyata seseorang yang miskin punya anak banyak atau dia punya sifat malas, lantas apakah adil jika kita mengatakan bahwa kemiskinan itu semata-mata tercipta karena sifat malasnya?

Masuk akal, jika dia hidup di negara dengan berbagai akses untuk mencapai kesejahteraan. Tapi bayangkan jika dia hidup di negara dengan pajak mencekik, biaya hidup yang kian tinggi, sempitnya lapangan pekerjaan ditambah pejabatnya gemar korupsi.

Sayangnya, kemiskinan tidak selalu berjalan sendirian. Kemiskinan punya kawan sejawatnya yakni kebodohan. Betul, miskin dan bodoh adalah perpaduan sempurna untuk menciptakan generasi terjajah. Bayangkan? Saat kebutuhan perut tidak tercukupi, pemenuhan kebutuhan akal semakin menjadi angan-angan. Kalian pasti pernah dengar soal anak yang menolak sekolah demi bisa mengamen mendapatkan pundi-pundi rupiah yang tidak seberapa?

Iya, faktanya bahwa perutnya memang lapar dan harus terisi meski rasanya tidak seberapa pendapatannya dalam sehari akan tetapi hanya itu yang bisa dilakukan. Mereka tidak perlu tahu bagaimana mereka harus menginvestasikan waktunya untuk belajar yang kelak nanti bisa hidup sukses.

Matematika hidup mereka sudah sangat sulit, mengkonversikan 20 ribu rupiah perharinya dengan duduk di bangku sekolah yang bahkan bangkunya saja harus dibeli lantas mereka berharap hidup kedepan menjadi lebih mudah hanya karena mereka bersekolah? Tentu saja bagi mereka itu omong kosong belaka. Ternyata, Kesimpulan mereka tidak sepenuhnya salah. Sebagai orang yang bisa dibilang dewasa, aku juga pesimis bahwa semua orang yang berpendidikan tinggi bisa hidup sukses di negara ini.

Pengangguran per tahun 2025 saja naik menjadi 7,28 Juta, sedangkan setiap tahunnya negara ini bisa menghasilkan hingga mencapai 1,5 Juta Sarjana, bayangkan setelah lulus mereka menjadi calon pengangguran selanjutnya. Bonus demografi justru menjadi momok menakutkan, karena nyatanya 5,39 persen dari 149 Juta Angkatan kerja di Indonesia adalah

Selanjutnya soal upah kerja, menjadi pekerja bukan berarti pasti stabil secara finansial. Faktanya tidak sedikit para pekerja yang menghidupi banyak orang dengan upahnya sendiri. Akibat dari jumlah pengangguran yang tinggi meski usia produktif menjadi populasi terbesar namun tidak lebih menjadi tanggungan bagi mereka yang bekerja, terlebih PPN Indonesia menjadi tertinggi di ASEAN namun ironisnya upah minimum Indonesia juga menjadi yang terendah di ASEAN.

Alhasil upahnya tidak cukup memenuhi kebutuhannya secara ideal, sekedar makan sehari-hari saja kesulitan apalagi kebutuhan tempat tinggal. Harga properti naik setiap tahunnya menyebabkan banyak keluarga hidup tanpa rumah alias mengontrak atau hidup bersama dengan keluarga mertua.

Apabila direfleksikan bersama berbagai kondisi miskin ini seolah diciptakan secara langgeng sebagai konsekuensi normatif di masyarakat. Contohnya bagaimana seorang pekerja biasa melawan badai PHK yang menjadikannya dia salah satu korban. Tampak sekilas seolah dia ditakdirkan sebagai orang miskin yang sekedar punya nasib sial, bayangkan orang seperti dia ada jutaan yang hidup di negara dengan segala kekayaan alamnya.

Di antara mereka ada yang rentan miskin hingga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Resiliensi bisa menjadi hal positif jika akhirnya masyarakat tidak hanya bertahan namun juga berjuang melawan kemiskinan, namun bayangkan di tengah perjuangan melawan kemiskinan kasus korupsi justru menghiasi berita televisi, jumlahnya tidak sedikit bahkan jika dikonversikan untuk biaya Pendidikan saja seluruh masyarakat Indonesia bisa S3 dengan jumlah kerugian yang diakibatkan dari korupsi. Jadi pertanyaannya, seberapa penting mendidik masyarakat untuk berhenti bermental miskin jika pemerintahnya saja bak tuhan yang mengutuk nasib rakyatnya dengan kemiskinan dan kebodohan yang abadi?

Kemiskinan dan Politik

Kemiskinan adalah kejahatan paling serius yang membuat para penderitanya menjadi pesakitan terlebih jika kemiskinan ini justru terjadi di daerah yang kaya akan sumber daya. Fakta ironis ini semakin langgeng seiring neo-imperialis menjadi momok nyata pemilik negeri. Kesenjangan demi kesenjangan tidak secara ajaib tercipta dengan sendirinya, penjajahan yang dialami masyarakat justru berawal dari kesenjangan yang melebar hingga menjadi tebing dan jurang.

Pemerintah yang seharusnya berperan penting dalam mengentas kemiskinan justru menjadi pemeran antagonis utama melahirkan generasi lemah nan bodoh yang bernasib miskin atau sebaliknya kemiskinan yang melanda menciptakan kebodohan yang bercokol di tengah masyarakat. Artinya?

Cara paling efektif untuk mengatasi kemiskinan bukan memperbaiki ekonomi, sosial apalagi mental masyarakat tapi pandangan politik yang dianut negara dalam hal ini dijalankan oleh pemerintah. Pertanyaannya, pandangan politik apa yang digunakan oleh negara selama ini?

Gaya politik barat pada awal revolusi industri yang diawali oleh peristiwa reformasi gereja tidak dipungkiri menjadi corak politik global hari ini tidak terkecuali Indonesia. Kala itu, Niccolo Machiavelli dalam karyanya, “II Principe” (1513) mengatakan bahwa kekuasaan sejatinya lahir sebagai kekuatan absolut dimana perebutan dan berbagai upaya pertahanan harus ditempuh sebagai jalan kekuasaan.

Ide Machiavelli berkembang dan diasosiasikan oleh berbagai pakar politik eropa yang menjadikannya rujukan politik barat. Berkembanglah prinsip “leviathan” atau iblis bertangan besi yang merepresentasikan peran pemerintah sebagai penguasa rakyat. Anomali kian berkembang seiring penafsiran gaya politik meluas menjadi pandangan hidup negara yang dijalankan oleh pemerintah.

Tidak sedikit dari para penguasa menjadikan politik sebagai jalan paling efektif memperkaya diri dan keluarga. Mereka rela menjual sumber daya alam negara demi menjalin hubungan dengan para korporasi dan oligarki sebutlah anak haram dari hubungan mereka adalah kapitalisme.

Sejak awal skema politik yang menihilkan moralitas tidak pernah tulus menjadikan rakyat sebagai tuan dan penguasa sebagai pelayan. Nyatanya, justru perselingkuhan dengan selir korporasinya menjadi kutukan bagi rakyat seolah tiada ujungnya. Rakyat hanya bisa berpasrah meski pesta demokrasi menghadirkan aktor-aktor lainnya namun tidak ubahnya bak mimpi di siang bolong.

Maka dari algoritma politik inilah lahir janji-janji manis yang tidak terealisasi, Pembangunan kapitalistik yang menciptakan kesenjangan hingga tidak sedikit merampas ruang hidup masyarakat, berbagai regulasi yang menguntungkan pebisnis dan merugikan rakyat, ditambah lagi merebaknya kasus korupsi seolah menjadi berita sehari-hari.

Alhasil masyarakat menjadi kebal terhadap kedzaliman, bukan dalam artian positif melainkan normalisasi absennya negara dari perannya, mereka sudah mulai menerima kemiskinan sebagai guratan takdir yang berkembang secara aseksual bergenerasi-generasi tanpa tahu bagaimana solusinya.

Vasektomi Mengatasi Kemiskinan?

Mengatasi kemiskinan tidak sesederhana membangun keluarga berencana lantas dengan banyak sedikitnya anak menjadi penentu kesejahteraan hidup kedepan. Vasektomi tidak pernah menjadi solusi jika masyarakatnya tinggal di negara yang merampas hak hidup dan berkembangnya, menggusur rumahnya, memagari lautnya, mempersulit akses kesehatannya, menghambat proses pendidikannya, mempersempit lapangan pekerjaannya, dihimpit dengan tinggi pajaknya, dicekik dengan lilitan hutangnya dan diperdengarkan setiap hari berbagai kasus korupsi dan kebejatan pejabatnya.

Jika seorang pejabat publik dengan ringan menghimbau rakyat miskin untuk vasektomi agar mendapatkan bansos, seharusnya kita tidak perlu pertanyakan lagi darimana lahirnya logika berpikir seperti itu. Pemahaman yang cacat lahir akibat dari gaya politik kapitalistik yang gemar “cuci tangan” dari berbagai masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Kebijakan absurd seolah menjadi solusi padahal tidak lebih dari gali lubang tutup lubang yang tidak menjawab persoalan. Mereka tidak mau berfikir keras bagaimana caranya keluar dari masalah karena sejatinya yang menciptakan masalah adalah mereka sendiri. Sayangnya, mereka tidak hanya menciptakan kemiskinan yang semakin tajam namun juga kebodohan yang semakin mereduksi fungsi kognitif dan radar masyarakat untuk menakar kedzaliman kebijakan pemerintah. 

Tak heran, banyak masyarakat kini seolah berdamai dengan nestapa dan penderitaan, menolak pusing mencari apa yang salah dari kebijakan namun lebih suka menderita berpanas-panas mengantri gas atau rumahnya digusur di depan mata.

Padahal kita perlu menata ruang berpikir lebih luas dengan melihat segala sesuatu dengan “helicopter view” agar kita dapat menilai segala sesuatu dengan lebih holistik dan bijaksana. Mungkin butuh lebih banyak waktu dan tenaga, tapi hal itu tidak lebih merepotkan daripada berpasrah terhadap kecacatan kebijakan penguasa dzalim.

Wallahu A’lam Bi sowab.