Oleh: Citra P Halim, Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas Pancasila
HUBUNGAN antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belakangan ini kerap memanas, memunculkan polemik publik yang mencerminkan krisis komunikasi di tubuh tata kelola kesehatan nasional. Dari rencana Kemenkes untuk membuka ruang bagi dokter asing, reformasi sistem pendidikan dokter spesialis (PPDS), hingga pengambilalihan fungsi kolegium kedokteran, semuanya menyulut resistensi IDI dan memancing opini publik yang beragam. Krisis ini bukan semata benturan kebijakan, melainkan kegagalan komunikasi strategis antarlembaga kunci dalam sistem kesehatan Indonesia.
Alih-alih membangun kepercayaan dan dialog terbuka, yang terjadi justru saling sindir di media, klarifikasi defensif, dan ketidaksinkronan narasi publik. Situasi ini menunjukkan bahwa baik Kemenkes maupun IDI belum optimal dalam menerapkan prinsip komunikasi krisis yang modern, kolaboratif, dan berbasis bukti.
Organisasi dan Krisis yang Dihadapi
Kementerian Kesehatan adalah instansi pemerintah yang bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan kesehatan nasional, sedangkan IDI merupakan organisasi profesi utama yang menaungi dokter Indonesia, memiliki peran kuat dalam standardisasi, etika, dan advokasi profesi. Krisis dimulai ketika Kemenkes mendorong reformasi sistem pendidikan dokter spesialis melalui pembentukan Lembaga Pendidikan Tinggi Kedokteran (LPTK) yang tidak lagi sepenuhnya dikelola oleh kolegium di bawah IDI. Selain itu, rencana Kemenkes untuk merekrut dokter asing guna mengatasi disparitas layanan kesehatan di daerah terpencil memunculkan kekhawatiran akan degradasi kompetensi dan etika profesi.
IDI menilai langkah-langkah ini dilakukan sepihak, tanpa dialog cukup dengan stakeholder utama. Polemik ini menjadi konsumsi publik ketika berbagai pernyataan kontroversial muncul di media, memperburuk citra kelembagaan keduanya dan menimbulkan keresahan di kalangan tenaga medis dan masyarakat.
Analisis Strategi Komunikasi Krisis: Lemahnya Dialog, Dominasi Monolog
Dalam kerangka Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh Coombs (2007), krisis seperti ini tergolong preventable crisis, yaitu jenis krisis yang dapat dihindari jika ada komunikasi yang transparan dan konsultatif sejak awal. Namun, strategi komunikasi yang dipilih Kemenkes cenderung menekankan pada dominasi narasi dan justifikasi kebijakan, bukan pada pendekatan kolaboratif.
Kemenkes lebih sering menggunakan konferensi pers dan pernyataan pers satu arah tanpa forum dialog terbuka yang melibatkan IDI dan masyarakat medis secara luas. Sementara itu, IDI merespons dengan siaran pers defensif, bahkan terkadang emosional, tanpa strategi komunikasi terpadu yang meyakinkan publik.
Alhasil, strategi komunikasi dari kedua belah pihak lebih merepresentasikan denial strategy dan scapegoating, yaitu saling menyalahkan dan menyangkal legitimasi argumen lawan. Padahal, dalam krisis kolaboratif seperti ini, yang dibutuhkan adalah rebuilding strategy—strategi membangun kembali kepercayaan dan membentuk forum multipihak untuk menyusun narasi bersama.
Analisis Penggunaan Media Digital: Banyak Tapi Tidak Maksimal
Kemenkes memiliki kanal digital yang cukup aktif, seperti akun resmi media sosial, situs web, hingga aplikasi seperti SATUSEHAT. Namun, selama krisis ini berlangsung, kanal digital tersebut tidak digunakan secara maksimal untuk membangun pemahaman publik. Komunikasi digital masih bersifat satu arah: memposting keputusan tanpa narasi penjelas yang membumi atau infografik yang menyederhanakan isu.
Begitu pula dengan IDI, yang cenderung hanya merilis pernyataan sikap melalui situs web atau konferensi pers terbatas. Di era digital, respons lambat dan komunikasi formal tidak cukup. Menurut Jin, Liu, & Austin (2014), media sosial dan kanal digital harus digunakan sebagai ruang diskusi aktif, terutama dalam krisis berbasis persepsi seperti ini.
Tanpa interaktivitas dan edukasi publik digital, krisis kebijakan berubah menjadi perang persepsi yang dimenangkan bukan oleh yang benar, tetapi oleh yang paling pandai memanfaatkan ruang publik.
Saran Strategis: Saatnya Terapi Komunikasi, Bukan Ego Politik
Untuk mengakhiri krisis komunikasi ini, baik Kemenkes maupun IDI perlu melakukan pergeseran pendekatan yang lebih strategis dan partisipatif. Berikut beberapa saran berbasis teori komunikasi krisis dan digital:
1. Membangun Crisis Communication Task Force Gabungan
Mengacu pada model CERC (Crisis and Emergency Risk Communication) dari Reynolds dan Seeger (2005), dalam krisis kesehatan, sebaiknya dibentuk satuan tugas komunikasi terpadu lintas institusi. Dengan ini, semua pernyataan publik, narasi digital, hingga penjelasan kebijakan bisa dikonsolidasikan agar tidak menimbulkan kebingungan.
2. Gunakan Digital Engagement, Bukan Sekadar Digital Presence
Memiliki akun media sosial aktif bukan berarti melakukan komunikasi digital yang efektif. Kemenkes dan IDI perlu mengadakan forum live streaming, sesi Q&A interaktif, hingga kolaborasi dengan dokter-dokter muda atau influencer kesehatan untuk menjelaskan isu dengan bahasa publik. Ini sejalan dengan konsep dialogic communication (Kent & Taylor, 1998) dalam media digital.
3. Ubahlah Gaya Komunikasi dari Direktif Menjadi Partisipatif
Keputusan strategis seperti pengambilalihan kolegium atau pembukaan PPDS jalur baru seharusnya didiskusikan dengan IDI sejak awal secara terbuka. Dengan pendekatan stakeholder-inclusive communication, krisis bisa dicegah bahkan sebelum terjadi.
4. Transparansi Data dan Akuntabilitas Naratif
Publik berhak tahu data apa yang mendasari keputusan Kemenkes soal dokter asing. Jika datanya kuat, seperti angka rasio dokter per populasi atau disparitas layanan kesehatan per provinsi, maka komunikasikan dengan infografik, bukan jargon birokratis.
5. Fokus pada Nilai Bersama: Keselamatan Pasien dan Pemerataan Kesehatan
Komunikasi krisis harus berbasis pada nilai bersama, bukan saling mempertahankan otoritas. Jika narasinya dikembalikan pada kepentingan rakyat, konflik ini bisa menjadi momentum perbaikan tata kelola bersama.
Penutup: Krisis Adalah Gejala, Komunikasi adalah Terapi
Krisis antara Kemenkes dan IDI bukan semata konflik kepentingan, melainkan gejala dari absennya strategi komunikasi yang terencana dan kolaboratif. Dalam konteks kesehatan yang menyangkut hidup orang banyak, komunikasi bukan pelengkap, melainkan fondasi kebijakan. Narasi yang tidak disampaikan dengan baik bisa lebih mematikan dari penyakit itu sendiri.
Saatnya Kemenkes dan IDI berhenti berbicara pada publik secara terpisah, dan mulai berbicara dengan publik secara bersama. Sebab di tengah kompleksitas masalah kesehatan nasional, yang dibutuhkan bukan hanya dokter yang kompeten atau kebijakan yang canggih—tetapi juga komunikasi yang menyatukan.
Referensi:
Benoit, W. L. (1997). Image Repair Discourse and Crisis Communication. Public Relations Review, 23(2), 177–186. https://doi.org/10.1016/S0363-8111(97)90023-0
Coombs, W. T. (2007). Protecting Organization Reputations During a Crisis: The Development and Application of Situational Crisis Communication Theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163–176. https://doi.org/10.1057/palgrave.crr.1550049
Jin, Y., Liu, B. F., & Austin, L. L. (2014). Examining the Role of Social Media in Effective Crisis Communication. Communication Research, 41(1), 74–94. https://doi.org/10.1177/0093650211423918
Reynolds, B., & Seeger, M. W. (2005). Crisis and Emergency Risk Communication as an Integrative Model. Journal of Health Communication, 10(1), 43–55. https://doi.org/10.1080/10810730590904571
Kent, M. L., & Taylor, M. (1998). Building Dialogic Relationships Through the World Wide Web. Public Relations Review, 24(3), 321–334. https://doi.org/10.1016/S0363-8111(99)80143-X