Oleh: Muhammad Joni, SH.MH., Founder Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan, Sekjen PP IKA USU, kuasa hukum IDI
MARAK dan viral lagi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ikhwal warta pun berita dugaan dokter yang diduga bertindak salah kepada pasien, mengapa yang diserbu media adalah IDI?
Padahal locus delictie terjadi di fasilitas kesehatan/rumah sakit. Bukan di Samratulangi 21 Menteng, Jakarta Pusat: padepokan-cum-markas IDI.
Bahkan kejadian itu terjadi di Rumah Sakit (RS) Vertikal-cum-milik Pemerintah Pusat. RS Vertikal itu locus yang tak biasa sebab fully standard.
Publik perlu paham RS Vertikal itu memiliki ekosistem yang terstandardisasi: ruang demi ruang, lantai demi lantai, tindakan demi tindakan medis, mulai dari pendaftaran, periksa tanda-tanda vital, IGD, informed consent, perawat ambil sampel darah, input anamnesa, gejala, diagnosa kerja, saran tindak, rekam medik dan seterusnya sampai ijin pulang pasien tertata pada RS Vertikal itu.
RSV pun rumah sakit swasta, BUMN/D bahkan diharuskan terkoneksi secara digital sampai ke sistem informasi rumah sakit Pemerintah Pusat, termasuk rekam medis.
Namun, mengapa dan oh mengapa yang dikejar-kejar media malahan Organisasi Profesi cq IDI? Organisasi Profesi cq IDI yang justru tak terkoneksi dengan RSV pun kantor-sistem digital Kementerian Kesehatan.
Seakan bagi publik dokter adalah IDI, bukan Fakultas Kedokteran atawa Kementerian Kesehatan-cum-Dinas Kesehatan. Atau, itu seakan auto-framing bahwa soal serius irisan susila-etika, disiplin dan hukum ini hanya mandatory tunggal melekat pada IDI.
Hallo, apakabar Tuan Majelis Disiplin Profesi --yang dibentuk Omnibus Law UU Kesehatan? Mana suara dan tindakannya? Bukankah institusi MDP ini mandat UU dan dibiayai negara? Mana rekomendasi MDP yang diwajibkan Pasal 308 UU Kesehatan 2023?
***
Paragraf di atas menjadi latar mengapa IDI yang disoroti? Seakan urusan praktek kedokteran idemditto IDI. Hebat kali memang pesona dan geneologi IDI dalam alam pikiran kedokteran dan mata hati publik. Pantas saja ada yang tak happy akan pesona IDI, walau quod non realitas ini tak terbangun setahun dua.
Pekan ini Ketua Umum PB IDI yang baru, Dr. dr. Slamet Budiarto, SH.MH.Kes. paling dicari media. Untung saja, dia bukan hanya sosok nomor satu di PB IDI, namun sumber yang paham "A to Z" tata kelola rumah sakit sebab pernah pimpinan rumah sakit.
Sejatinya, kudu mendudukkan soal iki dengan jernih dan proporsional sesuai sains, etika, disiplin, dan hukum. Yang berbasis fakta hukum yang teruji, bukan andalkan opini pun testimoni. Serta teruji sahih sesuai dengan aturan hukum cq UU Kesehatan.
Wajar, jika PB IDI konsisten membela hak-hak Tenaga Medis dokter setakat sebagai anggotanya, walau dokter dalam kasus konkrit itu bekerja di rumah sakit, yang menerima penugasan praktik medis dari rumah sakit, dan imbal jasa dari rumah sakit tempatnya bekerja, bukan dari Organisasi Profesi cq IDI.
Ketua Umum PB IDI yang ditetapkan pada Muktamar XXXII di Mataram, tanggal 13 Fabruari 2025 alhasil disibukkan menjawab konfirmasi jurnalis, wawancara spesial, pun sodoran mik dan kamera saat door stop. "Tetap semangat Ketum," ujar amba tatkala meeting di Samratulangi 29.
Tentu PB IDI bukan asal bela. Namun kudu menormalisasi opini dari framing yang bisa saja keliru, dan tentu saja demi menjaga obyektifitas fakta yang berharga sebagai bukti sesuai aturan hukumnya. Fakta itu jujur. Hukum itu kudu adil. Keduanya wajib dijaga negara.
Menjaga reputasi organisasi adalah mandat Muktamar ke Muktamar. Setarikan nafas, aksi nyata memenuhi hak perlindungan hukum Tenaga Medis dokter adalah amanat UU Kesehatan yuncto PP Nomor 28 Tahun 2024
Sahih jika PB IDI tancap gas dan angkat bicara menjaga reputasi organisasi profesi, dan mengingatkan perihal tanggungjawab UU atas hak perlindungan hukum dokter.
Padahal Locus Delictie peristiwa yang tak dikehendaki itu terjadi di RSV, atau rumah sakit, dan atau Faskes lainnya, bukan di kantor IDI.
Alhasil, jajaran PB IDI yang baru dilantik 12 April 2025, lebih dicari suara dan vidionya a.k.a. menjadi "media darling" ketimbang pimpinan RSV dan Faskes-nya yang mungkin enggan ataupun jaga jarak badan dengan media yang tugas mulianya mewakili pertanyaan publik.
Publik yang selalu perlu informasi dan dibalik informasi, tentu kudu dicerdaskan selalu. Soal tindakan medis bukan fakta biasa. Yang diuji dengan 3 hal ini: standar, standar, standar, plus 2 hal inii: etika dan disiplin. Terakhir baru hukum, sebagai Ultimum Remidium, bukan Premium Remidium.
Lepas dari soal tak sederhana perihal tindakan medis yang diduga malpraktik medis, mustinya Menteri Kesehatan pada lintasan akal pertama auto mendorong perlindungan hukum Tenaga Medis dokter itu, pun terhadap RSV dibawahnya.
Perlindungan hukum para Tenaga Media dokter itu Premium Action, apapun soalan hukumnya.
Namun media auto-berlomba mengejar apa posisi pendapat Ketum PB IDI alahai menjadi hot issue media televisi, pun media mainstream lain dalam sepekan ini, bahkan bisa lebih.
Yth. Ketua Umum PB IDI, menurut hemat saya, rujukan pertama yang kudu diacu PB IDI, pun demikian pakar, masyarakat luas dan media, ya ....., apalagi kalau bukan UU Kesehatan. Walau jamak norma UU Kesehatan itu tengah diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi RI.
Faktanya, kejadian demi kejadian ini setelah Omnibus Law UU Kesehatan cq UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mencabut UU Praktik Kedokteran. Pun setelah UU Kesehatan membubarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan mencabut legitimasi Kolegium (vide Pasal 451 UU Kesehatan). Itu adalah norma UU yang sedang diuji sembilan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi dan diuji hakim-hakim sejarah negeri ini.
Juga, UU Kesehatan 2023 mengambil alih wewenang menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR). Kini STR diterbitkan Konsil Kesehatan, namun anehnya atas nama Menteri Kesehatan. Bukan atas nama Konsil.
Dulu STR diterbitkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atas nama negara. Konsil Kedokteran bukan Konsil Kesehatan.
Sejatinya, STR itu sebagai lisensi dokter pemegangnya Fit for Pactice dalam praktik kedokteran yang berlaku dalam waktu 5 (lima) tahun, bahkan ke belahan dunia mana pun, karena bersifat universal.
Kini, di era Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, STR berlaku seumur hidup, sekali dapat STR ahaa.., berlaku seterusnya. Apa akibatnya? Siapa dirugikan?
Majelis pembaca. Saat ini by law, Pasal 421 UU Kesehatan lugas memerintahkan pengawasan penyelenggaraan kesehatan adalah tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda), bukan IDI. Bukan institusi Organisasi Profesi: PDGI (dokter gigi), PPNI (perawat), IBI (bidan) IAI (apoteker).
Dulu, pengawasan "melekat" dokter menjadi urusan sejawat 'peer group'-nya. Namun, tidak lagi setelah UU Kesehatan 2023 yang menihilkan syarat rekomendasi Organisasi Profesi cq IDI saat menerbitkan Surat Ijin Praktek (SIP) dokter.
Sehingga, menurut UU Kesehatan 2023 tak perlu rekomendasi idemditto tak perlu fungsi organisasi profesi dalam pengawasan dokter.
Jamak kejadian-cum-kasus setidaknya seperti yang viral diwartakan, terjadi sejak pengawasan penyelenggaraan Kesehatan termasuk dokter dilakukan dengan UU Kesehatan baru.
Seakan mengonfirmasi tak efektifnya UU Kesehatan, yakni ikhwal pengawasan penyelenggaraan Kesehatan oleh Pemerintah Pusat dan Pemda, mengapa kebobolan atau malah tidak mampu laksana (unworkable)?
Apa artinya pengakuan dengan UU dan hebohnya gebyar akreditasi atas tata laksana pun SDM Kesehatan-nya?
Pembaca, pada faktanya dalam kasus konkrit yang dimaksudkan, status formal Tenaga Medis dokter dan/ atau Tenaga Kesehatan itu bekerja pada lokus Rumah Sakit Vertikal (RS V), ataupun RS swasta ataupun Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang memiliki aturan dan standar ketat. Yang bahkan kudu dilengkapi Hospital by Laws.
Tak boleh dilupakan segenap warga dunia bahwa kejadian dan fakta yang dilakoni dokter itu di rumah sakit bukan di kantor IDI.
Clear ya, bahwa Tenaga Medis dokter dalam kasus konkrit itu bekerja dan menjalankan praktik kedokteran (medical practices) untuk dan atas nama instansinya: RS V, ataupun RS Swasta pun lain Faskes. Dan karenanya jasa Medical Practices itu bukan untuk dan atas nama Organisasi Profesi dokter cq. IDI.
Lagi pula, STR (Surat Tanda Registrasi) dokter diterbitkan Konsil Kesehatan Indonesia (disingkat juga dengan KKI), yang by law atas nama Menteri Kesehatan (Pasal 260 ayat 2 UU Kesehatan). Catat, STR bukan diterbitkan IDI.
Lantas, keliru jika opini yang terbangun menyudutkan IDI. Aha.., pemerintah jangan melupakan perintah UU Kesehatan, dong.
Hatta publik hendak menilai workabilitas UU Kesehatan, setidaknya ikhwal pengawasan penyelenggaraan Kesehatan cq dokter, menurut hemat saya tak lepas dari dampak nyata betapa inkonstitusional norma-norma UU Kesehatan Omnibus Law itu. Sejarah telah bekerja menghakimi norma yang cacat yuridis bawaan a.k.a. inskonstitusional.
Opini ini bersikap bahwa dengan merujuk UU Kesehatan 2023, Menkes selaku Pemerintah Pusat bertanggungjawab atas setiap kasus yang terjadi di RSV, pun bahkan lain-lain fasilitas kesehatan. Pemerintah kudu memberikan hak Tenaga Medis atas perlindungan hukum, apapun konstruksi kasusnya. Bukan sontak jumping conclution menghentikan Pendidikan Profesi Dokter Spesialis (PPDS), di berbagai kasus dan beebagai RSV. Namun nihil kabar-kabar perlindungan hukum Tenaga Medis dokter. Seperti biasa, ujung-ujungnya, malah IDI yang legowo berinisiatif ambil alih memberikan perlindungan hukum dokter, seperti jamak kasus termasuk di Semarang.
Pak Ketum PB IDI Dr. dr. Slamet perlu menyiapkan lembaga bantuan hukum IDI?
Bapak Menkes Yth. Ketahui lah, menurut perintah Pasal 721 huruf a dan Pasal 723 ayat (1) huruf b, yo. ayat (2) dan (3) PP No. 28 Tahun 2024, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berhak atas bantuan hukum secara konkrit bukan normatif.
Tak elok dan melanggar aturan bahkan HAM jika dibiarkan dokter itu nihil pembelaan, walau tugas itu disebutkan melekat pada instansi tempatnya bekerja, termasuk RS V milik Pemerintah Pusat
Dalam hal Tenaga Medis dokter bekerja di RS V pun masih dalam status PPDS, yang pada kenyataannya mereka mostly melakukan praktik kedokteran-cum-pendidikan kedokteran spesialis sekaligus di RSV, yang menurut hukum adalah termasuk dalam tangggungjawab Menteri Kesehatan.
Biarkan hukum bekerja menangani pro justisia perkara hukumnya, namun jangan picingkan mata hati mengabaikan UU Kesehatan melaksanakan perintah-perintahnya membela hak perlindungan hukum dokter.
Tabik.