Fahri Bachmid: Gugatan Praperadilan Kedua Firli Bahuri Ikhtiar Legal dan Konstitusional

Image 3
Fahri Bachmid, kuasa hukum Firli Bahuri,

. Permohonan praperadilan kedua mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah didaftarkan pada hari Senin (22/1). Sidang praperadilan yang dipimpin hakim tunggal Estiono ini direncanakan dimulai pada hari Selasa (29/1) mendatang.

Seperti sebelumnya, gugatan praperadilan kedua ini juga duajukan untuk menguji penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka berdasarkan Surat Nomor: S.Tap/325/XI/RES.3.3./2023/Ditreskrimsus tertanggal 22 November 2023 yang diterbitkan Direskrimsus Polda Metro Jaya. Dalam kasus ini, Firli dituduh melakukan pemerasan pada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

“Gugatan praperadilan ini adalah ikhtiar legal dan konstitusional agar keadilan substantif dapat terwujud,” ujar Fahri Bachmid, kuasa hukum yang kali ini mendampingi Firli Bahuri. Fahri Bachmid mendapatkan surat kuasa khusus dari Firli pada 29 Desember lalu.

Pengajuan gugatan praperadilan Firli Bahuri kali ini, ujar Fahri Bachmid, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU- XII/2014. Terdapat beberapa pertimbangan penting oleh MK, di antaranya ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Dengan demikian, asas "due process of law" sebagai salah satu perwujudan pengakuan HAM dalam proses peradilan pidana wajib dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama lembaga penegak hukum.

Katanya lagi, pemerintah secara konstitusional berkewajiban serta bertanggung jawab untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fullfill), dan melindungi (to protect) setiap warga negara. Negara berkewajiban memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku. Termasuk di dalam proses peradilan, khususnya bagi tersangka, dalam mempertahankan haknya secara seimbang.

Negara juga berkewajiban menghormati HAM dengan menitikberatkan asas "due process of law”, suatu konsep yang pada dasarnya menekankan bahwa seluruh rangkaian proses hukum harus diperoleh melalui prosedur formal yang telah ditentukan secara terbatas oleh UU.

“Oleh karena itu setiap prosedur adalah penting dan tidak boleh diabaikan. MK dalam putusannya berpendapat bahwa pada hakikanya prosedur penyidikan yang dilakukan harus bersifat ideal, dan jangan dilakukan secara tidak ideal,” ujar Fahri Bachmid.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 itu telah menegaskan bahwa pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan harus memenuhi dua alat bukti yang cukup dengan merujuk pada ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP.

Jika hal tersebut tidak diterapkan dalam penetapan seseorang menjadi tersangka, maka penetapan tersebut membawa implikasi tidak sah menurut hukum.

Fahri Bachmid juga mengatakan, Putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan No. 32/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel pada tanggal 12 Mei 2015 dapat dijadikan yurisprudensi bagaimana Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 ditetapkan dalam kasus konkret yang diajukan ke persidangan praperadilan.

Dalam pertimbangan Putusan PraperadilanPN Jakarta Selatan tersebut, Hakim yang memeriksa perkara menyatakan, “Oleh karena Termohon telah menetapkan Tersangka meskipun belum ditemukan bukti awal berupa dua alat bukti maka penetapan tersebut tidak sah menurut hukum.”