Saksi Cabut Keterangan dalam Kasus Sewa Vila di Bali, Kuasa Hukum RAY: Dipaksakan Jadi Kasus Pidana

Image 3
Kuasa hukum dari Justicia Law Firm yang mendampingi RAY, dari kiri ke kanan: Yehezkiel Petrus Halomoan Paat, Eko Haridani Sembiring, dan Ahmad Hardi Firman.

. Kasus sewa-menyewa vila di Sanur dengan terdakwa Made Richy Ardhana Yasa alias RAY memasuki babak baru. Di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar (Kamis, 23/11) salah seorang saksi yang dihadirkan mencabut keterangan di dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Saksi yang mencabut keterangan itu adalah Listio Budi. Di dalam konstruksi kasus ini, Listio berperan sebagai orang yang mengiklankan vila milik terdakwa melalui media sosial atas permintaan Desak Made Maharyani (DMM) yang merupakan istri terdakwa dan kini sedang dalam pencarian aparat penegak hukum.  

Listio mengatakan, dirinya tidak pernah mendengar bahwa vila yang diiklankannya itu sedang dalam masalah atau disengketakan. Listio juga menegaskan dirinya tidak pernah bertemu RAY.

Adapun di dalam BAP atas nama Listio Budi yang dibacakan di persidangan disebutkan, RAY pernah menginformasikan kepada Listio bahwa vila itu tidak dalam sengketa hukum.

Kantor Justicia Law Firm yang mendampingi RAY mengatakan, pengakuan Listio dan pencabutan BAP itu membuat kasus ini mengalami onslag atau lepas, dan tindak pidana penipuan dan penggelepan yang didakwawan Jaksa Penuntut Umum (JPU) jadi tidak jelas.

“Ini merupakan fakta dalam persidangan, dan sangat jarang terjadi,” ujar salah seorang kuasa hukum RAY, Eko Haridani Sembiring, dalam jumpa pers hari Kamis (23/11).

Dalam jumpa pers, Eko didampingi dua kuasa hukum lainnya, yakni Ahmad Hardi Firman, SH, MH, dan Yehezkiel Petrus Halomoan Paat, SH.

Lebih lanjut Eko mengatakan, putusan onslag atau lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa jika Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Eko menjelaskan, di bulan April 2019, RAY bersama istrinya DMM menyewakan vila kepada Sri Lestari dengan perjanjian kedua belah pihak.

“Saat perjanjian dibuat memang ada terjadi proses lelang atas vila yang disewakan. Namun klien kami tidak mengetahui hal itu, maka dia berani menyewakan tanahnya yang sudah menjadi bangunan vila,” terang Eko.

Dia menambahkan, persoalan yang dihadapi kliennya ini harusnya masuk dalam ranah perdata, bukan pidana.

Ditambahkan Eko, dari studi yang mereka lakukan, kasus ini sebetulnya hanya soal perjanjian sewa-menyewa. Di mana kliennya belum sepenuhnya bisa memenuhi tanggung jawab dikarenakan ada proses lelang atas tanah tersebut, dan sudah dilakukan eksekusi oleh pengadilan.

Melihat perkembangan di dalam persidangan, Eko sagat meyakini bahwa unsur penipuan yang dituduhkan itu sepenuhnya bisa dikatakan tidak terbukti.

“Kerena yang dituduhkan di sini, klien kami memberikan iming-iming dan  menyatakan vila itu tidak bermasalah. Dalam berita acara (disebutkan) klien kami melakukan penipuan dan meminta istrinya menyewakan vila yang tidak dalam sengketa,” terang Eko.

“Keterangan itulah yang dicabut saksi dalam persidangan di pengadilan, dan itu resmi dilakukan di hadapan Majelis Hakim,” tegasnya menggarisbawahi.

Eko Haridani Sembiring menambahkan, melihat kesimpulan dari perkara ini dari awal sampai saat ini, dirinya ini adalah perkara perdata yang dikriminalisasi.

Penyerahan uang oleh saksi Listio Budi kepada istri kliennya, DMM, semakin menguatkan keyakinan Eko bahwa ini adalah kasus perdata, bukan kasus pidana.

“Saat menyerahkan uang dalam keadaan sadar. Di situ juga terjadi kesepakatan bersama, dan sudah dinyatakan beres dan transparan soal status tanah tersebut,” kata dia lagi.

“Bila semua kasus sewa menyewa di Bali, karena ada masalah pembayaran dibawa ke ranah pidana, bagaimana proses penyelesaian bisnisnya bila ujung-ujungnya harus berada di balik jeruji besi,” tegas Eko.

Hal senada disampaikan Ahmad Hardi Firman. Dia mengatakan, walaupun RAY belum melakukan kewajiban sesuai perjanjian awal dalam proses sewa-menyewa,  bukan berarti persoalan ini bisa dibawa ke wilayah pidana.

“Silakan melakukan gugatan melalui mekanisme hukum perdata. Di situ kan ada mekanisme yang terbuka. Apabila mau pengembalian, silakan melalui mekanisme hukum perdata. Ini kok aneh, dilarikannya ke pidana. Padahal kasusnya adalah murni perdata,” kata Ahmad Hardi.

Uraian Kasus

Dalam dakwaan di persidangan dua hari sebelumnya (Selasa, 21/11), JPU Ida Ayu Ketut Sulasmi menguraikan kasus ini. Disebutkan bahwa di bulan April 2019, terdakwa RAY meminta istrinya menawarkan sebuah vila dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 3184 atas nama terdakwa. Luas lahan di dalam SHM itu dsiebutan 2.064 meter per segi.

Dalam proses penjualan inilah Listio Budi dilibatkan untuk mencari penyewa melalui marketplace Facebook.

Salah seorang yang tertarik dengan penawaran itu adalah Sri Lestari. Bersama I Nyoman Ari Sudana, ia mengunjungi vila yang ditawarkan.

Setelah negosiasi, disepakati vila tersebut disewa selama lima tahun dengan harga Rp 180 juta per tahun. Sri Lestari kemudian memberikan down payment (DP) sebagai tanda jadi kepada istri terdakwa DMM sebesar Rp 10 juta. Pembayaran DP dilakukan pada tanggal 26 April 2019.

Pada tanggal 30 April 2019, Sri Lestari menyampaikan Surat Perjanjian Sewa Rumah kepada terdakwa.

Dalam perjanjian itu, terdapat klausul yang menyatakan bahwa vila dan lahan yag disewakan tidak memiliki masalah. Kemudian Sri Lestari pun mentransfer biaya pelunasan sebesar Rp 845 juta ke rekening milik terdakwa.

Di sisi lain, tanpa diketahui Sri Lestari, sertifikat vila milik terdakwa telah dijadikan  jaminan utang oleh pihak lain pada tanggal 4 Agustus 2014.

Surat perjanjian utang ini mencapai nilai yang fantastis yakni Rp 18,96 miliar, dan telah digunakan dalam lelang eksekusi pada tanggal 15 Maret 2019.

Vila yang disewa oleh Sri Lestari akhirnya dieksekusi, dan pengosongannya dilakukan pada tanggal 3 September 2019 oleh PN Denpasar.

Sri Lestari merasa ditipu dan dirugikan sebesar Rp 900 juta.

Dalam dakwaan, JPU menyebutkan RAY terancam hukuman empat tahun penjara seperti yang disebutkan dalam Pasal 372 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

BALI

Berita Terkait

Berita Lainnya