Menjawab Tuntutan 16 Guru Besar Tata Negara tentang Keputusan MK

Image 3

PAGI ini saya membaca berita sebanyak 16 Guru Besar dan akademisi hukum yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman buntut putusan batas usia capres-cawapres yang kontroversial, Kamis (26/10/2023).

Para pelapor yang merupakan pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara ini mengajukan laporan pelanggaran kode etik dan pelanggaran perilaku hakim kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK), dengan permintaan utama agar Anwar Usman dipecat dari posisinya.

Dan saya juga buka Tiktok-nya Eep Syaifullah Fatah dengan moderator Abraham Samad yang juga mengupas soal pelanggaran keputusan MK yang dikaitkan dengan survey  terhadap Presiden Joko Widodo.

Kita yang ada di dalam kapal induk ini juga harus ikut berjuang melakukan penyelamatan, kata Eep Syaifullah Fatah.

Saya pikir bukan hanya Eep Syaifullah Fatah dan Abraham Samad serta 16 Guru Besar yang menggugat ketua MK. Saya dan kelompok saya yang ingin menyelamatkan Indonesia dari liberalisme, kapitalisme dengan mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila jauh lebih berhak dibanding menggugat keputusan MK mengapa?

Sebab 25 tahun reformasi akibat digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002  jauh lebih dahsyat kerusakan yang ditimbulkan dan dampaknya sudah langsung dirasakan rakyat sesuai apa hasil survey yang dilakukan Eep Syaifulloh Fatah.

Itulah gambaran demokrasi liberal yang telah dilaksanakan dengan dasar liberalisme, kapitalisme dengan sistem presidenseil di mana kekuasaan diperebutkan banyak banyakan suara kalah menang, pertarungan, kuat-kuatan, curang- curangan, yang mampu memecah persatuan kapal induk Indonesia.

Mengapa 16 Guru Besar yang menggugat putusan MK tidak mampu menyelam pada persoalan bangsa dan negara Indonesia yang sesungguh nya?

Mengapa hanya melihat persoalan  bangsa ini hanya dilihat dari akibat nya. Tidak mampu melihat persoalan hukum akibat digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002.

Sungguh miris kalau 16 Guru Besar ketatanegaraan itu tidak mampu melihat persoalan konstitusi yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini.

Bagaimana 16 Guru Besar tidak mampu membedah ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD 1945 dan tidak mampu melihat UUD 1945 yang diamandemen 97 persen masih dikatakan UUD 1945?

Dan masih ribut dampak dari amandemen yang dilakukan MK dengan meloloskan Gibran mencalonkan diri menjadi cawapres lebih penting. Padahal keputusan MK itu akibat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh digantinya UUD 1945 dan Pancasila.

Bangsa ini telah teracuni oleh sistem liberal kapitalisme. Bukan hanya rakyat, sekelas Guru Besar menyebut dirinya ahli tata negara tidak mampu melihat kerusakan negeri ini akibat dari digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002.

Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD Reformasi 2002, maka apa itu negara Indonesia sudah tidak lagi ada.

Negara dengan uniknya bangsa dilahirkan baru negaranya dibentuk yang kemudian Indonesia adalah negara kebangsaan.

Perjuangan para pendiri negeri ini dinistakan oleh para pengamandemen UUD 1945. Fudamental negara berdasarkan Pancasila dirobohkan, dicabut, diganti dengan individualisme, liberalisme, kapitalisme.

Apakah 16 Guru Besar yang menyandang gelar ahli ketatanegaraan itu mengerti kalau negara sudah dikudeta konstitusinya? Pasti akan terjadi pro kontra dengan berbagai teori hukum sebagai pembenar padahal sudah jelas UUD 2002 bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila dan bahkan tidak ada kaitannya dengan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 dan telah berubah 97 persen menurut kajian dan penelitian Prof Kaelan dari Universitas Gadjah Mada.

Padahal, negara ini  melalui proses yang  panjang dalam pembentukannya dan melalui konsensus untuk meletakkan dasar negara, philosophy groundslag bukan sesuatu yang asal comot tetapi melalui pemikiran yang bersumber dari akar budaya bangsa yang ribuan tahun sudah ada di dasar sejarah bangsa Indonesia.

Pemikiran paradikmatika filosofi tentu membutuhkan perenungan yang sangat fundamental.

Mengganti UUD 1945 yang para komprador menyebutnya amandemen itu tak lebih dari penipuan terhadap bangsa ini. Nyatanya yang diamandemen adalah Ideologi Pancasila diganti dengan individualisme, liberalisme, dan kapitalisme.

Lebih aneh lagi PDIP dan BPIP masih mengunyah-ngunyah Pancasila. Padahal ideologi negara berdasarkan Pancasila sudah dibuang.

Motor pengantian UUD 1945 dengan UUD 2002 adalah PDIP, melalui Ketua Panitia Ad Hoc Jakob Tobing sebagai inisiator menganti UUD 1945 dengan UUD 2002 yang kemudian untuk menipu rakyat masih dikatakan UUD 1945.

Bagaimana tanggung jawab PDIP sekarang ini akibat rusaknya ketatanegaraan dan hilangnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Ketidakberhasilan Jokowi yang digambarkan dalam survey rahasia Eep Syaifulloh Fatah adalah bagian tanggungjawab PDIP dan tidak bisa meninggalkan Jokowi sebagai petugas partai jika itu dilakukan maka sama saja dengan “tinggal gleanggang colong playu” artinya PDIP tidak mau bertanggung jawab.

Untuk menyelamatkan kapal induk yang kata Eep Syaufullah Fatah dan 16 Guru Besar tata negara ada di dalamnya tidak ada jalan terbaik  kecuali mengajak seluruh elemen bangsa kembali pada UUD 1945 dan Pancasila.

Saatnya kita Rekonsiliasi meninggalkan pemilu dan kita kembali ke UUD 1945 dan Pancasila menata kapal induk Indonesia menatap matahari masa depan bangsa Indonesia dengan gemilang.

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila.