Kerusuhan di Morowali Utara karena Ada “Negara di Dalam Negara”

Image 3

Kerusuhan yang terjadi di kawasan PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara, Sabtu malam (14/1), akibat ketidakadilan yang dirasakan pekerja lokal. Dalam kerusuhan itu sebanyak tiga orang tewas, dua di antaranya adalah pekerja lokal, dan seorang lagi pekerja asal Republik Rakyat China.

Menurut Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat, bentrokan di PT GNI itu sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Arus masuk TKA asal China sangat deras, sehingga Morowali Utara menjadi “negara di dalam negara”.

“Kejadian ini jauh sebelumnya memang sudah dapat diduga karena kebijakan pemerintah tentang pembiaran derasnya TKA khususnya dari China memang sudah sangat keterlaluan. Kawasan industri yang terjadi di berbagai wilayah tanah air termasuk di Morowali Utara sudah seperti negara di dalam negara,” ujar Jumhur.

Selain itu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa upah TKA China di kawasan perusahaan China di tanah air, besarnya berkali-kali lipat dibandingkan pekerja lokal untuk jenis pekerjaan yang sama. Belum lagi fasilitas lebih bagus yang diberikan kepada TKA dengan alasan mereka orang asing.

Beberapa aturan termasuk aturan ketenagakerjaan pun dibedakan atau sengaja diubah demi keuntungan investor China. Misalnya, aturan pajak, aturan tidak boleh diskriminatif terhadap pekerja, juga aturan mengenai ekspor hasil tambang wajib dijual dengan harga murah ke smelter-smelter yang notabene sekitar 90 persen milik China.

“Adapun yang dirasa menjadi penyebab ketegangan adalah karena puluhan ribu pekerja asing tidak berpendidikan layak atau pekerja kasar ternyata bisa menjadi pekerja di kawasan itu. Mereka eksklusif karena tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal akibat tidak diwajibkan berbahasa Indonesia seperti aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya,” sambungnya.  

Melihat keadaan ini maka suatu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan audit baik regulasi maupun pelaksanaan regulasi terkait dengan investasi dari China ini karena sungguh sangat merugikan baik dalam hal pendapatan negara maupun dalam bidang ketenagakerjaan.   

“Apa untungnya bagi rakyat Indonesia bila dalam investasi dari China ini bila bahan-bahan pembangunan pabrik dan mesinnya langsung diimpor dari China, perusahaan mendapat bebas pajak atau tidak bayar pajak (tax holiday) bisa sampai 25 tahun, membawa TKA kasar yang upahnya berkali-kali lipat dibanding upah lokal, keuntungan usahanya sepenuhnya milik perusahaan China. Untuk Indonesia paling hanya kebagian sewa tanah dan penyerapan pekerja murah. Sementara itu setelah mengeruk kekayaan luar biasa yang ditinggalkan adalah lingkungan hidup yang rusak,” demikian Jumhur menguraikan.