Arema Kalah, Kok Marah?

Image 3

PILU di Stadion Kanjuruhan, Malang. Ratusan remaja tewas, ratusan lainnya terluka. Pejabat, media massa, medsos menyoroti berbagai hal dari berbagai sisi. Tulisan ini fokus ke: Mengapa suporter bola menggila?

Jumlah korban sampai pukul 14.12, Minggu, 2 Oktober 2022 dari Wakil Gubernur Jatim, Emil Dardak: 174 orang tewas (termasuk dua polisi). Luka berat 11 orang, luka ringan 298 orang.

Itu jumlah korban tewas penonton bola terbanyak ke dua di dunia. Terbanyak pertama di Stadion Nasional Lima, Peru, 25 Mei 1964. Pada laga antara Peru versus Argentina di kualifikasi olimpiade.

Dikutip dari The Guardian, bertajuk: "From the archive, 26 May 1964: Hundreds dead in stampede at football match", jumlah korban tewas di Peru 263 orang (termasuk tiga polisi). Saat gol Peru dianulir wasit, pada 6 menit menjelang akhir laga, sehingga Peru kalah 0 - 1 dari Argentina.

Membandingkan Tragedi Peru dengan Kanjuruhan, beda jauh dalam segi penyebab. Di Kanjuruhan, Arema kalah 2 - 3 versus Persebaya. Pertandingan normal, sampai berakhir.

Kronologi Tragedi Kanjuruhan, dikutip dari dokumen laporan Satuan Intelkam, Polda Jawa Timur, sangat jelas, penyebab kerusuhan bukan di teknis pertandingan.

Dokumen Intelkam itu bernomor R /LHK - 172X / 2022 / INTELKAM terpublikasi. Rincian dua belas tahap. Demikian:

1) Pukul 21.58 WIB (Sabtu, 1 Oktober 2022) setelah pertandingan selesai, pemain dan official Persebaya Surabaya dari lapangan masuk ke dalam kamar ganti pemain.

Mereka dilempari oleh Aremania (Suporter Arema FC) dari atas tribun dengan botol air mineral, air mineral gelas, dan benda lain-lain.

2) Pukul 22.00 WIB, saat pemain dan official Arema FC dari lapangan berjalan masuk menuju kamar ganti pemain. Aremania turun ke lapangan lalu menyerang pemain dan official Arema FC.

Mengetahui hal tersebut petugas keamanan berusaha melindungi pemain hingga masuk ke dalam ruang ganti pemain.

3) Selanjutnya Aremania yang turun ke lapangan, semakin banyak, dan menyerang aparat keamanan. Aremania semakin brutal, dan terus menyerang aparat keamanan. Diperingatkan beberapa kali, tidak dihiraukan massa.

Kemudian aparat keamanan mengambil tindakan dengan menembakkan gas air mata ke arah lapangan, Tribun Selatan (11, 12, 13) dan Tribun Timur (Tribun 6). Tujuannya, supaya massa di tribun tidak turun ke lapangan.

4) Setelah penembakan gas air mata, suporter yang berada di tribun berusaha keluar melalui pintu secara bersamaan. Terjadi desakan - desakan. Banyak yang tergencet dan terjatuh, terinjak-injak, serta mengalami sesak nafas.

Rombongan tim Persebaya Surabaya keluar dari stadion dengan kendaraan taktis Polri.

5) Pemain Persebaya memasuki kendaraan Baracuda dan langsung bergerak, akan meninggalkan Stadion, dengan Pengawalan Sat Lantas, Brimob dan TNI.

Namun dihadang oleh Aremania dalam jumlah besar. Mereka membakar
Barier Lantas, pagar, dan dua kendaraan roda empat pribadi milik anggota Polri, serta sebuah Truk Dalmas Sat Brimob.

6) Selain melakukan pembakaran, Aremania juga menyerang personil pengawal, dengan menggunakan batu, botol dan kayu. Akibatnya kendaraan rombongan pemain Persebaya dan Arema FC tertahan di jalur jalan keluar.

7) Untuk menghalau massa yang anarkis, dilakukan upaya pembubaran dengan penembakan gas air mata. Namun massa tidak bergeming dan semakin brutal menyerang aparat keamanan.

Fokus laporan menyoroti kembali ke dalam stadion:

8) Akibat kejadian di dalam tribun stadion, banyak korban yang mengalami sesak napas dan lemas. Dievakuasi ke Unit Kesehatan Stadion Kanjuruhan.

Namun untuk mengevakuasi korban ke rumah sakit, terhambat juga oleh aksi Aremania di pintu keluar stadion.

9) Pada saat bersamaan, terus dilakukan evakuasi korban dengan menggunakan mobil ambulans. Ternyata bisa dibukakan jalan oleh massa Aremania. Itu setelah Aremania tahu, bahwa di dalam mobil adalah para korban. Bukan pemain Persebaya atau Arema FC.

Namun karena begitu banyaknya korban dan kurangnya ambulans, maka evakuasi korban dengan menggunakan kendaraan dinas Kasat Lantas, kendaraan Grand Max milik Polsek Jajaran, truk Dalmas Polres, truk Dalmas Brimob dan TNI. Namun dalam perjalanan juga dilempari batu dan dihadang oleh Aremania.

10) Setelah Aremania mengetahui banyak korban yang dievakuasi menggunakan kendaraan Dinas TNI - Polri, akhirnya tekanan massa Aremania sedikit berkurang. Mereka membiarkan ketika ada kendaraan dinas melakukan evakuasi korban melintas.

11) Ketika tekanan massa Aremania mulai berkurang, selanjutnya kendaraan Water Canon Polres Malang bergerak maju, memadamkan api.

Itu diikuti oleh rombongan Kendaraan Baracuda berisi pemain Persebaya juga pemain Arema FC. Itu dikawal kendaraan dari TNI dan Brimob. Akhirnya, kendaraan rombongan para pemain dan official Persebaya serta Arema FC bisa bergerak, meninggalkan Stadion Kanjuruhan.

12) Setelah rombongan kendaraan pemain Persebaya dan Arema FC meninggalkan Stadion Kanjuruhan, massa Aremania mulai mencair, dan meninggalkan lokasi depan pintu masuk stadion.

Di urutan nomor sembilan di atas, jadi faktor penting dari proses pengamanan pemain dan official. Baik bagi pemain Persebaya maupun Arema FC.

Seandainya di tahap itu Polri dibantu TNI gagal, maka sangat bahaya buat keamanan jiwa para pemain dan official.

Mengapa Aremania ngamuk? Tidak jelas penyebabnya. Diduga, karena Arema FC kalah. Tapi, mengapa kalah kok ngamuk?

Profesor Edward Hirt dalam bukunya: "Journal of Personality and Social Psychology" (1990) menyatakan, ada korelasi antara fanatisme orang terhadap suatu tim olahraga dengan individu orang itu sendiri.

Buku itu hasil riset tim pakar yang dipimpin Prof Hirt (Guru Besar Psikologi dan Otak di Indiana University Bloomington, AS) pada 1989 di sana.

Hipotesis riset, ada efek kesetiaan terhadap tim olahraga pada keyakinan individu, tentang kompetensi dan harga diri mereka sendiri. Artinya, seorang fanatik pada tim olahraga, bukan hanya mengagumi tim itu. Tapi, selain mengagumi tim, juga dikaitkan dengan kompetensi dan harga diri orang tersebut.

Teknis risetnya begini: Sekelompok responden (mahasiswa) pengagum fanatik tim bola basket kampus mereka. Lalu mereka diajak oleh tim peneliti, masuk ke laboratorium riset.

Di dalam lab, responden cuma menonton video rekaman pertandingan basket tim pujaan mereka. Ada dua video. Satu video, tim pujaan mereka menang. Satu lagi, tim pujaan mereka kalah.

Setelah itu, masing-masing peserta diminta untuk memprediksi seberapa baik dia pikir, pujaan mereka akan bertanding di masa depan. Semacam analisis.

Responden juga diminta untuk membuat perkiraan, yang tidak terkait tim pujaan mereka. Melainkan fokus pada diri masing-masing responden sendiri. Tentang kuliah mereka, juga diteliti motorik, mental dan keterampilan sosial responden.

Hasil riset, Prof Hirt berkata: “Hal yang paling kuat yang kami temukan adalah, bahwa untuk penggemar yang sangat fanatik (terhadap tim basket), mereka benar-benar melihat kesuksesan tim, sama dengan bagaimana mereka melihat kesuksesan pribadi mereka sendiri."

Responden yang menyaksikan tim pujaan mereka menang laga, melaporkan prediksi yang jauh lebih tinggi tentang kinerja masa depan tim tersebut. Mereka juga memprediksi kinerja kuliah dan karir mereka, serta harga diri mereka, dengan semangat yang positif.

Responden saat menonton video, tim pujaannya kalah tanding, menjadi sebaliknya. Bahwa kinerja kuliah dan karir mereka diprediksi bakal suram.

Dorongan psikologis yang diterima tim pemenang, mirip dengan dorongan yang diterima peserta ketika mereka secara pribadi berhasil atau gagal dalam suatu tugas.

Prof Hirt: “Tim basket, adalah perpanjangan dari diri individu yang fanatik itu sendiri."

Dilanjut: "Ketika tim pujaan mereka sukses (menang), maka semua penggemar fanatiknya akan menyatakan: Bahwa saya sangat pintar."

Gampangnya: Sukses tim basket atau bola, atau olahraga apa pun, adalah sukses kelompok pendukung fanatiknya. "Jagoan saya menang. Saya sangat pintar".

Begitu juga terjadi, jika sebaliknya. Jika tim pujaannya kalah. Jadi lemes. Merasa, harga diri mereka letoy.

Di Tragedi Kanjuruhan, ditambahi satu unsur lagi: Pertandingan berlangsung di wilayah Aremania: Malang. Sehingga begitu Arema FC kalah, Aremania sangat frustrasi.

Rasa frustrasi, ditambah sikap 'gunggungan' (lebay) karena ditonton sekitar 46 ribu orang, membuat secara tidak disadari, penonton mengolok tim Arema FC.

Intensitas naik. Dilanjut, mereka melempar botol minuman ke arah pemain dan official Arema FC. Lemparan itu kian gencar. Memicu penonton meloncat, turun ke lapangan. Dalam sekejap semakin banyak yang turun ke lapangan.

Massa yang turun lapangan, dihadang polisi dan TNI. Terjadi keos di lapangan. Sementara, di tribun puluhan ribu orang seperti siap meloncat turun ke lapangan, membela Aremania di lapangan.

Situasi ini diterjemahkan polisi sebagai: Bahaya. Dalam hitungan detik, diputuskan polisi: Menembakkan gas airmata ke arah tribun. Menghambat. Supaya puluhan ribu orang itu tidak turun. Karena, para pemain sedang berada di kamar ganti. Terancam bahaya.

Akibatnya, mereka yang turun ke lapangan selamat. Sama sekali tak ada yang cedera. Kecuali lecet dipukul pentungan polisi dan TNI.

Sedangkan, mereka yang di tribun, berdesakan keluar melalui pintu yang terlalu kecil untuk ukuran begitu banyak orang. Berhimpitan, dalam tempo sangat cepat.

Di situ tragedi. Orang mati terinjak-injak. Gegara sesak napas, menghindari gas airmata.

Kronologi dan teori di atas mestinya jadi pelajaran penyelenggara laga bola. Juga aparat keamanan. Terutama, masyarakat calon penonton bola.

Penulis adalah wartawan senior

Berita Terkait

Berita Lainnya