Alvin Liem dan Literasi Media

Image 3
Alvin Liem/Net

SEBAGAIMANA dilaporkan oleh RMOL.ID pada 12 September 2022 (baca: Dugaan Pencemaran Nama Baik, Bareskrim Bakal Periksa Alvin Lim), Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Alvin Lim (AL) terkait kasus dugaan penghinaan atau pencemaran nama baik dengan pelapor Henry Surya pada Senin, 26 September 2022. 

Menurut Kabagpenum Humas Polri Kombes Nurul Azizah, Minggu (11/9), penyidik telah mengirimkan surat undangan klarifikasi kepada terlapor saudara AL untuk memberikan keterangan pada hari Senin, 12 September 2022, namun saudara AL mengirimkan surat penundaan untuk memberikan keterangan pada hari Senin, 26 September 2022.

Terkait dengan kasus ini, Penulis mendapatkan sebuah video berdurasi 5 menit 35 detik yang berisi pernyataan AL yang kecewa atas rencana pemeriksaan ini.  Sayangnya kekecewaan AL melebar ke mana-mana dan menjauh dari substansi lantaran ketakutan yang berlebihan pada dirinya.

Dalam video itu, dengan kasar AL menyebut Mabes Polri masih sarang mafia.  Lebih kasar lagi, AL sampai berani mengatakan bagaimana seorang penjahat kelas kakap mampu dengan uang menjadikan Polisi anjing-anjing mereka.  Secara agitatif dan provokatif, AL kemudian mengajak para pendengarnya untuk tidak mau Polisi seperti itu (baca: menjadi anjing-anjing penjahat).

Dari sudut pandang ilmu komunikasi, agitasi dan provokasi AL ini sangat serius.  Narasinya yang mengajak pendengarnya untuk ikut menolak Polisi menjadi anjing-anjing penjahat bukan hanya insinuasi, tetapi pernyataannya yang menyebut Polisi menjadi anjing-anjing penjahat itu seolah-olah merupakan sebuah fakta yang tak terbantahkan.

Cara-cara AL menjadikan kebohongan besar merupakan kebenaran serupa dengan yang dilakukan oleh Joseph Goebbels, Menteri Pencerahan Rakyat dan Propaganda Jerman di zaman Nazi (13 Maret 1933-30 April 1945).  Seperti diketahui, Goebbels merupakan propagandis kesohor di masa Adolf Hitler berkuasa.

Sebagai seorang propagandis, ilmuwan menganggap Goebbels merupakan pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Teknik propaganda Goebbels disebut "Argentum ad nausem" atau lebih dikenal sebagai teknik big lie (kebohongan besar) dengan cara menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.  Dalam konteks ini, AL menyebut “menyebarluaskan” dengan istilah “broadcast”.

Seperti diketahui, sebelum Goebbels, pada dasawarsa 1920-1930 istilah agitasi dan propaganda tidak berkonotasi negatif.  Di dunia pertanian, propaganda merupakan penyebarluasan metode atau tekonologi baru (inovasi) dalam pertanian. Dalam dunia demokrasi, agitasi dan propaganda berubah menjadi berkonotasi negatif. Di Inggris selama tahun 1980-an, misalnya, politisi sayap kiri kerap menggunakan agitasi dan propaganda dengan menyampaikan sebuah pesan melalui program televisi/media massa atau teater.

Sesungguhnya, bila ditilik lebih jauh, tidak ada bedanya era sebelum Goebbels, di masa Goebbels, dan di masa sekarang (post truth).  Di era post truth, dengan memainkan emosi khalayak, kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.

Hampir di semua era pascaabad ke-19, negaralah yang kerap memainkan agitasi dan propaganda yang berkonotasi negatif ini.  Namun di era digital, negara tidak lagi menjadi monopolis kebenaran, tetapi negara bisa bekerja sama dengan para agitatis dan propagandis pada dua konotasi di atas.  Di era digital sekarang, para pemainnya tidak terhitung banyaknya, mulai dari yang bertindak sendiri, berdua dengan mewawancarai narasumber, dan lebih dari dua dalam bentuk klub diskusi dan debat; hebatnya acara seperti itu bisa hadir tanpa keberadaan redaksi ala media mainstream.

Meskipun demikian, bila diselisik, tidak terdapat perbedaan mendasar era digital sekarang dengan era Goebbels dalam memandang media sebagai penyampai pesan kebenaran (dan kebohongan) (yang kemudian diharapkan oleh sumbernya dipersepsikan sebagai kebenaran oleh penerimanya).  Media tetap dianggap demikian perkasanya sampai acara podcast mantan host di sebuah stasiun TV laris manis. 

Rupanya penganut teori peluru atau jarum suntik tidak bakal hilang selama bumi belum kiamat.  Teori ini menganggap media massa (termasuk medsos sekarang) demikian perkasa dan memiliki efek seperti peluru atau jarum suntik yang membuat khalayak (audiens) terpapar dan terkapar.  Dalam teori ini proses komunikasi berlangsung satu arah atau linier.

Dari kacamata ilmuwan komunikasi, seorang AL adalah penganut teori peluru yang menganggap penerima itu pasif dan tidak akan memfilter apa yang dia sampaikan.  Bila penerimanya tidak berpendidikan, agitasi dan propaganda AL mungkin memiliki pengaruh yang luas.  Namun bagi pengikut Socrates, caci maki AL yang merendahkan martabat Kapolri dan Polri, sekalipun kadang-kadang menggantinya dengan istilah oknum polisi hanya akan masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri. 

Sekadar informasi bagi AL, sekalipun Socrates lahir 470 tahun sebelum Masehi, filsuf ini telah menasihati agar kita menyampaikan informasi atau pesan yang benar, baik, dan berguna.  Harus digarisbawahi di sini bahwa pesan yang benar itu bukan baik dan berguna menurut versi sumber, namun baik dan berguna menurut persepsi penerima.

Seperti diketahui, setiap ilmuwan komunikasi secara spesifik belajar mengenai psikologi komunikasi.  Dari sisi ini, ceracau AL dalam video tersebut sejatinya telah menelanjangi karakternya sendiri.  Undangan penyidik Polri untuk sekadar diperiksa telah membuatnya ketakutan yang berlebihan dan mungkin jadi labil.

Lantaran emosional dan kondisi kejiwaan yang mungkin labil, AL semena-mena meminta Kapolri (seolah-olah sebagai bawahannya) untuk mencopot 3 direktur tanpa menyebutkan alasan yang jelas.  Memang bisa diduga, permintaan subjektif AL agar Kapolri mencopot Direktur Tindak Pidana Bidang Ekonomi, Keuangan/Perbankan, dan Kejahatan Khusus Lainnya (Tipideksus) dan Direktur Tindak Pidana Siber (Informasi dan Transaksi Elektronik) (Tipidsiber) berkaitan dengan pekerjaan yang sedang AL tangani sebagai pengacara.  Bila AL profesional, AL tidak pada tempatnya menuduh Polri tidak profesional bila tidak memenuhi keinginan dan harapan subjektifnya.

Ketidakstabilan emosi AL semakin tampak jelas manakala yang bersangkutan secara sengaja menyerang kehormatan atau nama baik Kapolri dan melakukan pencemaran secara tertulis.  Sebagai pengacara, aneh juga bila AL menjerat dirinya dengan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 ayat (1) dan (2) dan Pasal 315 KUHP.

Mengacu pada video yang dirilis AL, sudah saatnya Kementerian Kominfo melakukan literasi media sosial kepada para pengacara sehingga mereka tidak menjerat dirinya dengan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 ayat (1) dan (2) dan Pasal 315 KUHP.  Tanpa AL sadari, videonya yang berisi ujaran kebencian, provokatif, dan tidak beradab telah menjadi bumerang dan pisau bermata dua untuk dirinya.  AL tidak perlu pura-pura meminta Kapolri memasukkannya ke penjara.  Video dan pengakuannya yang selama ini (dan sekarang melalui konten videonya) menyudutkan kepolisian niscaya dengan sendirinya membawanya ke hotel prodeo.

Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Medan; magister komunikasi dan doktor penyuluhan pembangunan dari IPB.

Berita Terkait

Berita Lainnya