Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

Image 3

Oleh: Denny JA, Pendiri LSI

DI Beersheba, keluarga-keluarga Israel meratapi kehilangan yang tak terbayangkan.

Serangan rudal Iran menembus rumah-rumah, menewaskan puluhan jiwa, dan merobohkan bangunan yang sebelumnya penuh tawa anak-anak kecil.

Di Iran, ribuan warga sipil pun tak luput. Rumah-rumah rata dengan tanah. Rumah sakit runtuh. Seolah yang tersisa hanya puing-puing dan air mata.

Kemanusiaan diuji dari dua penjuru. Ia meninggalkan luka yang tak mudah sembuh.

Lihatlah datanya: Di Israel, sekitar 1.347 orang terluka ringan hingga berat.
Dua puluh delapan tewas. Lebih dari 400 warga mengalami trauma psikologis dalam 12 hari konflik. Ribuan rumah hancur.

Di Iran, penderitaan bahkan lebih besar: 224 warga sipil tewas. Dua fasilitas energi utama—pengolahan minyak dan infrastruktur nuklir—dihancurkan. Ribuan lainnya terluka, termasuk anak-anak dan petugas medis.

***

Pada 23 Juni 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Iran dan Israel telah sepakat menghentikan tembak-menembak. Gencatan ini terwujud melalui mediasi intensif dari Qatar dan Amerika Serikat.

Meski sempat saling tuding pelanggaran, gencatan resmi berlaku mulai 24 Juni—dan hingga kini, ia bertahan dalam keheningan yang rapuh namun nyata.

Mengapa Gencatan Senjata Itu Terjadi?

1. Tak Ada Kemenangan Mutlak

Kedua pihak menyadari satu kebenaran pahit: tak ada kemenangan absolut dari perang ini.

Yang tersisa hanya saling kehilangan. Saling membakar. Saling menggali liang kubur bagi generasi mendatang.

Perang menjadi semacam cermin kelam. Semakin lama dipandang, semakin tajam ia memperlihatkan kebobrokan manusia.

Ketika dua negara bersenjata canggih tak mampu saling menundukkan, saat itulah akal sehat mengetuk kembali pintu peradaban.

Dan dalam kebuntuan itulah, kemanusiaan menyelinap masuk.

2. Publik AS Menolak Perang

Mayoritas warga Amerika menolak keterlibatan langsung dalam konflik Iran–Israel.

Menurut Pew Research Center (Mei 2025), 72% warga AS menentang intervensi militer langsung di Timur Tengah. Hanya 21% yang mendukung.

Survei YouGov bulan yang sama menunjukkan 65% warga khawatir konflik ini akan berkembang menjadi perang dunia.

Di media sosial, tagar #NoMoreWars dan #AmericaForPeace trending selama enam hari berturut-turut sejak 14 Juni.

Di balik statistik itu, ada jutaan keluarga yang lelah hidup dalam bayang-bayang konflik.
Mereka merindukan masa depan yang dirancang dengan cinta, bukan dihancurkan oleh rudal.

Ketika suara hati lebih lantang dari dentuman senjata, peradaban diberi ruang untuk tumbuh—meski perlahan.

3. Ancaman Iran Menutup Selat Hormuz

Iran memegang kartu truf: Selat Hormuz. Jika ditutup, ekspor minyak dunia lumpuh. Harga energi melonjak.

Sekitar 20% pasokan minyak global—sekitar 21 juta barel per hari—melewati Selat ini, menurut EIA AS (2025).

Saat konflik memuncak pada 16 Juni 2025, Iran secara terbuka mengancam menutup Selat Hormuz jika Israel atau AS memperluas operasi militer.

Dampaknya langsung terasa: Harga Brent Crude melonjak dari $81 ke $108 per barel dalam 48 jam, sebelum turun ke $86 pasca pengumuman gencatan.

Bank Dunia memperkirakan: Penutupan selat selama 10 hari bisa memangkas $180 miliar dari PDB global, karena guncangan energi dan logistik.

Kita hidup di era keterhubungan. Satu krisis lokal dapat mengguncang dapur-dapur di lima benua.

Ketika gencatan diumumkan dan harga minyak turun, itu bukan hanya reaksi pasar—itu adalah napas lega dunia.

4. Tekanan Diplomatik Global

Qatar, Uni Eropa, Rusia, dan PBB bersuara bulat: “Cukup!”

Bahkan para pemimpin paling keras pun mulai mempertimbangkan ulang jalan yang mereka tempuh.

Barangkali inilah keajaiban diplomasi: Bahwa bahasa yang mengetuk ternyata lebih kuat dari peluru yang meledak.

Ketika meja perundingan menggantikan moncong senjata, dunia menemukan kembali kekuatannya: kekuatan untuk menyelamatkan, bukan menghancurkan.

5. Tujuan Operasional Telah Tercapai

Israel menyatakan telah menghantam target strategis Iran dan menunda ancaman nuklir.
Iran pun merasa telah membalas dan menunjukkan kapasitas bertahan.

Namun pesan terbesar bukan pada rudal yang meluncur—melainkan pada jeda setelahnya.
Di sanalah akal dan hati bekerja.

Apa artinya pencapaian militer, jika tak melahirkan rasa aman dan ruang damai?

Gencatan Bukan Akhir—Ia Titik Awal

Timur Tengah tak akan pernah damai, jika setiap konflik hanya ditambal dengan gencatan sesaat.

Kunci perdamaian sejati hanya satu: Pengakuan dua negara merdeka dan setara: Israel dan Palestina.

Selama kemerdekaan Palestina disangkal, selama hak hidup setara ditekan, setiap keheningan hanyalah nafas sebelum gelombang berikutnya.

Sudah waktunya kedua bangsa ini, dengan luka sejarah yang dalam, saling mengakui, saling menghormati, dan saling merdeka.

Seberapa Banyak Lagi?

Seberapa banyak lagi perang harus meledak? Berapa banyak lagi anak kehilangan orang tua?

Berapa rumah lagi yang perlu hancur? Berapa air mata lagi harus tumpah?

Dan pertanyaan yang paling menyayat: Berapa banyak lagi kematian yang dibutuhkan agar dunia sadar?

Sadar bahwa hidup damai, berdampingan, dan saling mengakui adalah satu-satunya jalan.

Gencatan senjata ini bukan akhir. Ia adalah awal. Awal dari harapan. Awal dari keberanian untuk berkata: cukup sudah.

Puing-puing perang hanya bermakna jika darinya tumbuh kesadaran baru.

Bangsa Arab dan Persia tak akan pernah mampu melenyapkan Israel. Sebaliknya, Israel tak akan bisa menghapus Palestina dari peta nurani umat manusia.

Lalu apa gunanya saling membunuh?

Para penyair telah lama mengingatkan: Peradaban sejati tak dibangun dari dendam,
tapi dari kasih dan pengertian. Digerakkan bukan oleh peluru, tapi oleh pengakuan hak dan kerelaan berbagi tanah.

Jika manusia cukup berani untuk menyalakan perang, ia pun pasti cukup arif untuk memilih damai.

Maka, mari kita undang langkah-langkah nyata: Dukung dialog terbuka, tegakkan keadilan, dan bangun kepercayaan.

Setiap tangan yang bersedia berjabat, setiap hati yang mau mendengarkan, adalah benih yang tumbuh menjadi pohon perdamaian di masa depan.

Referensi:

  1. Reuters: Trump announces Israel-Iran ceasefire
  2. The Guardian: Israel agrees to phased ceasefire with Iran after 12 days of conflict
  3. Times of India: Iran denies deal but ceasefire holds
  4. Economic Times: Qatar mediates Iran-Israel ceasefire
  5. Pew Research Center & YouGov Surveys (Mei 2025)
  6. EIA: Energy Information Administration (2025)
  7. World Bank Estimates on Hormuz Closure Impact