Begini Kerepotan Indonesia Atasi Bullying

Image 3
Ilustrasi

BULLYING sampai mati terhadap MH, 9, siswa kelas dua SD di Sukabumi disoroti Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat. Caranya mengimbau, agar semua sekolah mencegah bullying. Kayaknya, itulah upaya maksimal pejabat publik.

Imbauan Lestari disampaikan dalam keterangan pers, Senin, 22 Mei 2023 bunyinya begini:

"Langkah untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang bersih dari aksi-aksi perundungan harus terus ditingkatkan, demi lancarnya proses peningkatan kualitas pendidikan di Tanah Air.”

Tapi, jangankan imbauan pejabat publik, semua pengurus sekolah di Indonesia pastinya mengaku berusaha keras mencegah bullying. Tidak mungkin tidak. Bukti menunjukkan, pelajar dan mahasiswa korban bullying di sekolah dan kampus, terus saja terjadi.

Di luar sekolah dan kampus, terjadi pada Mario Dany, 20, menganiaya brutal David Ozora, 17, yang menghebohkan itu. Kini perkaranya masih diproses hukum.

Bullying lagu lama di Indonesia. Pada 2017 Indonesia menggandeng United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF). Maka dibentuk Program Roots untuk mengatasi bullying. Caranya, para pendidik dididik mengatasi bullying.

2018 data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1 persen dari jumlah seluruh pelajar.

Itu ranking lima jumlah dalam prosentase bullying terbanyak di dunia. Ranking pertama Filipina 64,9 persen, Brunei Darussalam 50,1 persen, Republik Dominika 43,9 persen. Maroko 43,8 persen.

Tentunya dalam hal jumlah (bukan prosentase), Indonesia terbanyak nomor satu di dunia. Sebab, empat negara pada daftar ranking di atas, jumlah penduduknya kalah jauh dibanding Indonesia.

Dikutip dari Catatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengungkapkan 25 persen peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) 2021.

Itu tanpa data penyerta jumlah peserta didik di Indonesia. Lantas, data peserta didik Kemendikbudristek 2022/2023 pria dan wanita, TK sampai SLTA 3.579.710 pelajar.

Kalau benar data Kemendibudristek bahwa 25 persen peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan, berarti jumlahnya pada tahun ajaran 2022/2023 adalah 894.927 pelajar. Atau hampir sejuta.

Padahal, program Roots yang dimulai sejak 2017 dan baru dilaksanakan 2021, pemerintah melakukan pendampingan kepada 7.369 sekolah jenjang SMP dan SMA/ SMK dari 489 kabupaten/ kota di 34 provinsi di Indonesia.

Program tersebut juga telah melatih 13.754 fasilitator guru antiperundungan di jenjang SMP dan SMA/SMK. Sudah menghasilkan begitu banyak ahli antiperundungan.

Program itu tidak menyertakan TK dan SD, meskipun gejala awal bullying dimulai dari usia pelajar TK. Mungkin, karena otoritas terkait menganggap bahwa bullying di TK dan SD masih terlalu kecil. Sebab, anak kecil. Atau kalau memukul pun terlalu ringan. Jadi, tidak perlu masuk program.

Ternyata MH usia 9 tahun, pelajar kelas dua SD di Sukabumi dibully sampai mati. Kenyataan ini membuat otoritas pendidikan jadi kaget.

Kata “kaget” diucapkan Pengawas Pembina Sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, Ahmad Yani pada konferensi pers di sekolah wilayah Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Senin, 22 Mei 2023. Pernyataannya begini:

"Kami merasa kaget, kemudian minta kejelasan melalui WhatsApp group (WAG) sekolah, dan telepon kepada semuanya apa yang sudah terjadi di sekolah sampai hari Rabu (17/5/2023) bahwa pihak sekolah tidak mendengar ada kejadian tersebut."

Dilanjut: "Mereka (pihak sekolah) menjelaskan bahwa MH dipukuli A di jam istirahat sekolah. Pihak korban minta pertanggungjawaban pihak sekolah untuk mengambil tindakan. Kami menengok ke rumah sakit (Rabu, 17/5) pukul 13.00 WIB, kondisi anak sangat mengkhawatirkan. Dipasangi alat-alat (medis) dan tidak bisa ditanya.”

Sabtu, 20 Mei 2023 pukul 08.00 MH meninggal di RS Hermina, Sukabumi. Berdasar keterangan dokter, MH mengalami luka parah di bagian dada, punggung, kepala dan rahang. Siangnya dimakamkan di desanya.

Dilanjut: "Kami memonitor, memantau apa yang hari ini sedang dilakukan oleh pihak yang berwajib, tentunya kami siap berkoordinasi, dikonfirmasi dimintai keterangan bahwa karena kejadiannya di internal sekolah, sehingga tentunya ada beberapa siswa yang dicurigai ataupun menjadi bahan pertimbangan."

Kalimat selanjutnya adalah pernyataan klise Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah sering didengar publik.

Kasat Reskrim Polres Sukabumi Kota AKP Yanto Sudiarto kepada pers mengatakan, pihaknya masih melakukan penyelidikan.

AKP Yanto: "Kami masih dalam penyelidikan dan pemeriksaan saksi-saksi. Sampai saat ini baru tiga saksi yang kami periksa dan masih dalam pemeriksaan. Sedangkan, pihak keluarga korban keberatan dilakukan otopsi terhadap jenazah korban.”

Intinya, semua pihak seperti tergopoh-gopoh setelah kejadian memakan korban jiwa, dan (ini yang penting) setelah dimuat di media massa dan viral di media sosial. Atau, sudah diperhatikan publik secara luas. Bukan pada pencegahan terjadinya bullying. Melainkan setelah terjadi, dan korban mati.

Lalu, apa sih yang diberikan UNICEF membantu mengatasi bullying di Indonesia? ternyata , ya… pengetahuan standar tentang dasar-dasar bullying. Misalnya, apa itu bullying?

Cara mengidentifikasi bullying melalui tiga karakteristik berikut:

1) Disengaja untuk menyakiti.

2) Terjadi secara berulang-ulang.

3) Ada perbedaan kekuasaan antara pelaku-korban.

Penjelasan: Pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korban. Baik menyakiti fisik, atau kata-kata, atau perilaku yang menyakitkan, dan dilakukan berulang kali.

Anak laki-laki lebih mungkin mengalami bullying fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami bullying secara psikologis, walaupun jenis keduanya tentu cenderung saling berhubungan.

Bullying adalah pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukan bullying biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer, atau lebih kaya secara materi, sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.

Anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk di-bully seringkali adalah anak-anak yang berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, anak-anak penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.

Tapi, pendidikan dan latihan untuk para pendidik (guru dan pengurus sekolah) sudah diberikan secara intensif dalam Program Roots oleh UNICEF.

Hasilnya, toh masih seperti kita saksikan sekarang. Cuma satu-dua kasus yang terpublikasi seperti kasus Mario menganiaya David. Atau kasus Aditya Hasibuan menganiaya Ken Admiral di Medan bulan lalu. Terbaru kasus MH.

Itu yang terpublikasi. Sedangkan yang tidak terpublikasi ada ribuan dalam dua tahun terakhir ini, merujuk data Kemendikbudristek hasil Asesmen Nasional (AN) 2021 yang 25 persen dari jumlah pelajar.

Prof James Lehman dalam bukunya bertajuk: “The Total Transformation Program”  (2004) memaparkan gamblang, penyebab anak dan remaja jadi pelaku bullying adalah: Mereka tidak mampu mengatasi emosi diri menghadapi problem hidup. lalu , ketidak-mampuan itu dilampiaskan dengan mem-bully anak lain.

Prof Lehman: “Pelaku memulai gejalanya sejak usia lima-enam tahun (Di Indonesia, awal SD). Memuncak saat usia dewasa muda. Kemudian jadi pelaku Domestic Violence (KDRT) saat berkeluarga. Domestic Violence dalam keluarga ditiru anak-anak, yang kelak bakal jadi pem-bully juga.”

Itu kalau pem-bully tidak dimasukkan terapi psikologi. Sampai sembuh.

Jelasnya, bullying seperti peternakan. Pem-bully menghasilkan bibit pem-bully juga. Begitu seterusnya dari generasi ke generasi.

Berita Terkait

Berita Lainnya