Keterwakilan Perempuan Politik Perspektif Konstitusi

OLEH: PRIHATIN KUSDINI

Image 3
Ilustrasi

SELAMA 3 periode Pemilu kebijakan afirmatif keterwakilan perempuan minimal 30 persen di Parlemen, keterlibatan perempuan mampu mempresentasikan pengalaman perempuan yang dituangkan dalam kebijakan  yang lebih reponsif gender karena perempuan mengisi separo dari populasi Indonesia. Kebijakan afirmatif ini memberi dukungan pada perempuan untuk mendapatkan pembekalan untuk meningkatkan praktik politiknya serta dukungan moral dari partai politik.

Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Oleh karena itu, melibatkan perempuan dan laki-laki didalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Hak menjadi penting karena terkait dengan posisi manusia terhadap negara dan dengan manusia sebagai subjek hukum.

Hak adalah satu klaim yang dilakukan orang atau kelompok  yang satu terhadap yang lainnya, orang yang mempunyai hak bisa menuntut dan orang lain akan menghormati hak itu. Sumber dari hak yang dimiliki setiap orang  itu adalah dari konstitusi negara, dan negara dibentuk oleh masyarakat melalui kontrak sosial  untuk menjamin kelangsungan dan ketertiban kehidupannya.[1]

Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945 terdapat dalam BAB XA tentang ”Hak Asasi Manusia”, diatur dari pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J.

Hak Asasi Manusia yang meliputi semua bidang kehidupan, dalam perkawinan (pasal 28 B, khusus anak diberi pengaturan khusus terhadap perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ayat 2-nya), mengembangkan diri (pasal 28 C), pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D), bebas memeluk agama (pasal 28 E), berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F), perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dst (pasal 28 G), hidup sejahtera lahir batin (pasal 28 H), hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan seterusnya (pasal 28 I) dan pasal 28 J yang merupakan kewajiban setiap warga negara untuk menghormati hak asasi orang lain.

Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiap-tiap warga negara”, atau “setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama, keyakinan politik, ataupun jenis kelamin.

Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara bagi laki-laki maupun perempuan. Pada saat ini memang cenderung politik di Indonesia  di dominasi laki-laki (Male Dominated) karena budaya patriarki hingga perempuan sering termaginalkan faktor penyebabnya karena perempuan itu sendiri meragukan kemampuannya, untuk itu perlu menggali perempuan potensi dan mendukung kehadirannya perempuan berkualitas hadir dalam politik perhelatan pemilu tahun 2024 mendatang.

Menurut Thomas Hobbes hak asasi manusia disebut hommo homini lupus,bellum omnium  contro omnes, dalam mengatasi keadaan hak asasi manusia merupakan jalan keluarnya karena manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang di sebut Leviathan, keadaan seperti itulah yang mendorong terjadinya perjanjian masyarakat, rakyat menyerahkan hak-haknya pada penguasa.

Di Indonesia untuk membatasi hak-haknya dibuatlah aturan-aturan yang dimuat dalam Undang Undang Dasar NRI 1945 dan UU 39/1999 mengatur HAM (Hak Asasi Manusia) dan perlindungan hak asasi manusia harus terjamin.[2]

Menurut Aurel Croissant dkk menyatakan, bahwa Pemilu kondisi yang diperlukan bagi demokrasi, tetapi pemilu saja tidak menjamin demokrasi, karena demokrasi memerlukan lebih dari sekadar pemilu. Demokrasi perwakilan sangat tergantung pada pemilu,pemilu bukan hanya mencerminkan kehendak rakyat dan mengintegrasikan warga negara kedalam proses politik, tetapi juga melegitimasi dan mengontrol kekuasaan pemerintah.[3]

Persiapan Penyelenggaraan pemilu yang akan berlangsung awal tahun depan pada bulan Februari  KPU membuat  Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 tahun 2023  merugikan keterwakilan kaum perempuan Indonesia dalam kontestasi pemilihan umum di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. PKPU tersebut dianggap tidak sesuai dengan UU 7/2017 pasal 245 yang menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan.

Salah satu klausul dalam PKPU tersebut, yaitu Pasal 8 ayat (2) huruf b, mengatur bahwa, dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah, berpotensi meminimalkan potensi keterwakilan perempuan kewenangan KPU membuat peraturan teknis pelaksanaan pemilu bukan norma hukum yang menjadi substansi materi pemilu.

Harmonisasi Peraturan KPU dengan perundang undangan penting dilakukan untuk menimbulkan kepastian hukum bagi terlaksananya penyelenggara pemilu yang baik. Saat ini terjadi disharmoni peraturan KPU dengan peraturan induknya UU 7/2017 pasal 245 daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 %, terjadi benturan dengan PKPU 10 pasal 8, sejatinya harmonisasi dilakukan saat pada fase proses rancangan peraturan KPU tingkat pusat dibawah undang-undang, pengharmonisasian dilakukan sejak persiapan sampai dengan pembahasan (Setiadi,n.d.) harmonisasi peraturan KPU melibatkan partisipasi masyarakat secara yuridis dalam penjelasan pasal 96  UU 12/211 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan, partisipasi masyarakat termasuk azas keterbukaan.

Sebagai badan pengawas pemilu Bawaslu  melakukan uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung dengan semangat memproses dugaan pelanggaran pemilu. Upaya ini merupakan langkah persuasif dengan meminta KPU mengoreksi peraturan tersebut.

Penulis adalah Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang Undangan DPP Perhakhi.
 
Catatan:
[1] Dr.Muhammad Erwin,Filasafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi),(Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi :PT Raja Gravindo Persada.cetakan ke 6 September 2018. Depok),hlm. 321
[2] Fajlurrahman Jurdi,Hukum Tata Negara Indonesia,Prenadamedia Group(Divisi Kencana)Jakarta 13220,www.prenadamedia.com, cetakan ke 1,April 2019, Hlm 516
[3] Ibid,hlm.520