Sapawastra Rayakan Hari Batik Nasional dengan “Lawas Gak Lawasan”

Sejak 2009 Hari Batik Nasional diperingati  pada2 Oktober. Berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kecintaan terhadap batik merayakannya dengan berbagai kegiatan. Salah satu perkumpulan pecinta kain nusantara, Sapawastra, turut mengambil bagian melakukan kampanye agar batik terus lestari dan diterima kalangan muda.

Belasan perempuan menyapa perempuan lainnya dengan tampil berkain batik lawasan dipadan dengan kebaya kembang desa bertajuk “Lawas Gak Lawasan”,  sebagai upaya batik-batik peninggalan tradisi tetap bisa dipakai di kegiatan keseharian.

Nury Sybli, sang inisiator kegiatan “Lawas Gak Lawasan” mengajak semua perempuan menggunakan batik dan kebaya di berbagai kesempatan.

“Saya mengusung tema ‘Lawas Gak Lawasan’ ingin menampilkan gaya baru yang chik, kasual tanpa harus meninggalkan unsur tradisi yang sudah ada. Memakai batik tak harus diwiron, begitu juga kebaya tak melulu harus dengan sanggulan,” papar Nury yang merupakan Founder Sapawastra di Warung Tuman, BSD, Tangerang Selatan.

Puluhan perempuan tampil dengan aneka kebaya kembang, batik lawasan dari berbagai daerah seperti Lasem, batik tiga negeri, pekalongan, sogan dan lainnya dipadankan dengan alas kaki sneaker, sepatu boots dengan aksesoris obi dan kemben bahkan kaus kaki panjang.
 
“Saya mendandani teman-teman seperti ini sebagai upaya menginspirasi perempuan lainnya bahwa berkebaya bisa gaya, berkain batik lawasan juga bisa untuk busana kerja atau menikmati secangkir kopi dengan teman,” kata Nury yang aktif mengampanyekan wastra tenun nusantara.
 
Lebih lanjut Nury mengatakan, berkain dan berkebaya adalah pakaian yang masih tabu bagi generasi muda. Hal ini disebabkan bukan saja maraknya fashion dari negara-negara tetangga tetapi minimnya edukasi dari lingkungan sekitar. “Ini menjadi tugas kita semua bagaimana meliterasi kebaya dan batik diterima anak-anak muda,” ujarnya.
 
Menurutnya, gerakan berkain nusantara dan kebaya tak lagi harus dibuat kaku.

“Dunia bergerak sangat cepat, semunya sudah serba digital, cara pandang kita juga harus disesuaikan. Karenanya saya membuat gagasan tampil memakai pakaian tradisional (wastra nusantara) yang cocok dengan zaman dan lingkungan tapi tidak meninggalkan tradisinya. Kan kita beraktivitas di kantor atau outdor, bukan di keraton,” tegas ibu satu putri ini.
 
Pada kegitan sapawastra “Lawas Gak Lawasan” Nury juga turut mengajak putrinya yang berusia tiga tahun untuk memakai kebaya dan batik lawasan. Ni (Luh) D.Tanaamahu Samudra memakai kebaya kembang dan batik lawasan Solo. Ini bukan kali pertama balita ini memakai batik dan kebaya.

“Sejak usia 6 bulan saya mulai mengenalkan kebaya, batik dan tenun. Kebetulan saya mengasuh sendiri, jadi dibanyak kegiatan berkain nona Ni selalu turut serta dan mau didandani berkain. Ini bagian dari sekolahnya dia,” terang Nury yang juga aktif di dunia literasi anak.  
 
Ida Saragih, salah satu peserta kegiatan hari batik mengaku gembira karena mendapatkan ide dan ilmu baru tentang cara berkain dan berkebaya untuk kegiatan sehari-hari.

“Saya orang Batak, biasanya memakai ulos dan kebaya hanya di acara adat atau acara-acara formil. Tapi dengan tampilan seperti sekarang ini, lawasan tapi kasual, saya bisa memakai kebaya dan batik di banyak kegiatan,” katanya.
 
Untuk diketahui, Batik merupakan salah satu wastra nusantara atau kain tradisional yang sudah diakui dunia melalui UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi atau Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity sejak 2 Oktober 2009.
 
Sebagai generasi muda, tak cukup hanya tahu dan memperingati hari batik, tapi turut ambil bagian melestarikan dan membaca pesan dibalik motif dan sejarah batik di Indonesia. “Batik itu kitab kehidupan. Orang-orang tua dulu banyak membuat cerita, tuntutan dan sejarah melalui batik,” papar Nury.  “Mari sama-sama belajar,” imbuhnya.
 
Sejarah Batik
 
Kerajinan batik di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan ke-18 atau awal abad ke-19. Batik yang dihasilkan adalah batik tulis sampai awal abad ke-20 dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920.
 
Kata "batik" berasal dari kata "ambatik" yang artinya sebuah kain dengan banyak titik. Akhiran-tik berarti titik, tetes atau ujung yang dipakai untuk membuat sebuah titik. Batik juga berasal dari bahasa Jawa "tritik". Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik”.
 
Kesenian batik merupakan kesenian menggambar pola di atas kain yang mulanya dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja. Kemudian hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa keluar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang.
 
Setelah dikerjakan masyarakat, batik menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan. Yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya.
 
Menurut UNESCO, batik dinilai identitas bangsa Indonesia dan menjadi bagian penting seseorang di Indonesia sejak lahir hingga meninggal.